Prolog:
Sebuah sentuhan
angin yang lembut membuat ku sedikit kedinginan. Di bawah pohon besar ini aku
merasa sedikit hangat. Pohon besar rindang di tengah padang rumput seluas ini.
Namun, saat aku hendak membaringkan tubuh ku di bawahnya, tiba-tiba salah satu
daun gugur ke atas wajah ku dengan lembut. Sepertinya memang benar, musim
dingin sebentar lagi.
-eps5- Minggu yang
kelam-
“Tunggu, kenapa? Kenapa seperti
itu?! kau hebat dalam bermain basket, dan ibu mu. Bukan kah ibu mu selalu
berharab jika kemampuan basket mu bisa melebihi ayah mu?” sifat Midorima
berubah setelah mendengar kalimat dari Takao barusan.
“Dia bilang ia takut jika hal
yang sama menimpa ku... ”
“Kau menjawab apa?”
“Aku belum memberikan jawaban,
tapi aku akan memberikannya besok.. aku masih bingung ingin menjawab apa. Jika
aku berhenti, aku tidak akan pernah menghabiskan waktu bersama teman-teman ku
lagi. Tidak akan ada pertandingan yang membuat ku selalu bersemangat. Dan
mungkin,.. hidup ku tidak akan berwarna lagi..”
Midorima terdiam melihat ekspresi
Takao yang menunjukan wajah kesal tidak terimanya itu. Matanya yang berkaca-kaca
juga menandakan bahwa ia memang benar-benar kesal, apalagi ibunya sendiri yang
menyuruhnya berhenti. Mungkin Midorima tidak begitu tau bagaimana keluarga
Takao, tapi ia tau jika Takao memang tidak terima dengan ini semua.
“Jika kau memang tidak tau apa
yang harus kau katakan kepada ibu mu, kenapa kau tidak bilang yang sebenarnya
saja.”
“Aku.. aku tidak bisa, jika aku
katakan yang sebenarnya, ia akan tetap menyuruhku untuk keluar dari basket...”
“Tidak ada orang tua yang seperti
itu di dunia ini..” kata-kata Midorima membuat Takao mengangkat kepalanya dan
melihat langsung kewajah Midorima. “Aku yakin ibu mu pasti akan mengerti”
Takao terdiam sambil mengusap
pipinya yang basah karena air matanya yang menetes tadi. Ia perlahan memunculkan
senyumannya.
“Kau benar Shin-chan, aku yakin
ibu pasti akan mengerti jika aku lebih terbuka dengannya..” kata Takao
tersenyum bahagia “Terimakasih..”
Midorima membenarkan kacamatanya.
“Jangan salah sangka, aku melakukannya hanya karena kau masih di butuh kan
dalam tim nanodayo..” kemudian Midorima langsung berbaring dan menarik selimutnya.
“Benarkah?.. tapi sepertinya bukan begitu..” kata Takao
yang megerti betul sifat Midorima yang pemalu.
--
Sinar matahari pagi memancar dari
balik tirai di jendela kamar Takao. Tidak di sangka jika Midorima benar-benar
tidur nyenyak di kamar Takao. Ia pun melepas topi tidurnya dan memakai kacamatanya.
Ia baru tersadar jika Takao sudah tidak ada di atas futon yang ada di atas
lantai.
“Takao?..” Midorima pun berdiri
dari kasur yang ia tiduri sepanjang malam ini. Sesekali ia meregangkan tubuhnya.
Ia menuruni tangga menuju lantai
satu. Di saat ia menuju lantai satu, ada bau enak tercium dari dapur. Rupanya
itu Takao yang sedang memasak sarapan. Midorima pun menghampiri Takao yang
sedang memasak.
Perlahan dan berusaha tidak
mengeluarkan suara, Midorima melangkah.
“Kau sudah bangun Shin-chan?”
“Bagaimana kau tau ini aku
nanodayo?”
“Haha, itu pertanyaan bodoh,
dirumah ini hanya ada kau dan aku... dan mana mungkin aku lupa jika kau
menginap di sini”
“Hh.. ” Midorima melihat dan baru
tersadar bahwa makanan yang di masak Takao sangatlah banyak. Mulai dari Sushi,
Katsu, Ebi Katsu, hingga Okonomiyaki. Tidak pernah sebelumnya ia melihat
makanan sebanyak ini dalam satu ruangan kecuali saat di restaurant. “Makanan
sebanyak itu untuk apa?”
“Ini? Yang bagian ini untuk
sarapan dan yang bagian ini untuk menjenguk ibu ku”
“Kau akan menjenguk ibu mu?”
“Iya, dan aku juga ingin kau
mengantar kan ku kesana,”
“Kenapa harus aku nanodayo?”
“Karena jika tidak ada yang
mengantarkan rasanya akan sangat sepi sekali. Dan juga, kau sudah menginap
dirumah ini kan?” kata Takao sambil mengeluarkan senyuman aneh pada Midorima.
Membuat Midorima juga merasakan hal yang aneh.
“Baiklah kalau kau memaksa ku
nanodayo..”
“Aku kan tidak memaksa... aku
hanya mengajak mu haha, itu berarti kau memang mau kan hahaha!” kata Takao
sambil memegangi perutnya yang sakit karena tertawa.
“Berisik nanodayo.. sudahlah aku
mau mencuci muka ku dulu!” kemudian Midorima berlalu dari dapur.
“Tunggu Shin-chan! Kamar mandinya
bukan di sebelah kana....”
Gubrak!!
Suara benda jatuh membuat Takao
terkejut dan menghentikan masaknya. Ia bergegas keluar dapur dan melihat
Midorima. Ia melihat Midorima yang sudah terkubur perabotan rumah tangga dari
kayu dan juga besi. Rupanya yang Midorima buka adalah lemari. Sedangkan kamar
mandinya ada di depan lemari.
“PfftBWAHAHAHA!!! AKU SUDAH
BILANG PADAMU!!HAHA!!”
“Jangan tertawa nanodayo!!”
--
Hari ini, adalah hari Minggu. Di
kota banyak pejalan kaki. Mereka hendak pergi untuk berjalan-jalan sejenak,
atau berbelanja.
Midorima dan Takao terlihat
menunggu bus di halte pinggir jalan. Takao membawa tasnya yang berisi banyak
sekali makanan. Sedangkan Midorima membawa Tas dan juga lucky item hari ini
berupa boneka beruang tedy memakai topi.
“Aku tidak percaya kau membawa
semua lucky item mu di tas” kata Takao dengan heran.
“Sudah kau diam saja nanodayo.
Aku harus bersiap-siap untuk membawa lucky item apa hari ini.. aku tidak mau
mendapat kesialan nanodayo..” kata Midorima sambil membenarkan kacamatanya.
“Kesialan ya?...” kemudian Takao
melihat dua orang yang berada sekitar beberapa meter dari mereka memasuki rumah
makan. Seseorang yang nampaknya ia kenal jelas. “Bukannya itu Kagami dan..
Momoi..”
Kemudian Midorima menoleh. Itu
memang mereka. “Itu mereka nanodayo” kata Midorima dengan kesal mengingat
kejadian yang selalu ia lalui ketika ada Kagami.
“Haha.. aku baru sadar kalau
mereka akhirnya pacaran juga, terakhir aku dengar, Momoi memanggilnya Taiga-chan
ya? Hahaha! O .. iya ayo kita dekati mereka.”
“Lebih baik jangan nanodayo..” cegah
Midorima.
“Hah?”
“Aku tidak ingin berurusan dengan
mereka, lagi pula, busnya datang”
Kemudian bus itu benar-benar
datang.
“Kau benar, ayo..”
Kemudian Midorima dan Takao
memasuki bus itu dan segera menduduki kursi yang masih kosong. Kebetulan, bus
kota sedang sepi-sepinya. Ya, karena ini masih pagi dan belum banyak orang yang
menggunakan angkutan umum. Dengan begitu mereka bisa lebih leluasa lagi memilih
kursi.
Takao duduk di sebelah jendela.
Sedangkan Midorima memilih untuk duduk di bangku luar. Takao terlihat menikmati
pemandangan yang dilihatnya di dekat jendela. Meskipun hanya toko, warung
makan, dan berbagai gedung saja yang ia lihat. Tapi, ia terlihat menikmatinya
seperti anak kecil.
“Oiy!” Midorima memanggil Takao
karena merasa sedikit terganggu dengan tingkah kekanak-kanakan Takao.
“Ada apa Shin-chan?”
“Tingkah mu itu kekanak-kanakan
sekali nanodayo, kalau boleh jujur, itu sedikit mengganggu ku”
“Hah? Kau merasa terganggu?
Berlebihan sekali..” ejek Takao dengan senyumannya.
“Terserah apa katamu nanodayo..”
“Aku hanya mengingat saat aku
berada di bus ini pada saat aku masih kecil, bersama ayah dan ibu ku. Aku tidak
bisa melupakan hal itu, menyenangkan...” kata Takao kemudian terdiam da melihat
kembali keluar jendela.
Kali ini Midorima memilih untuk
membiarkan Takao seperti itu. Mengingat bahwa ia sendiri tidak pernah mengalami
hal menyenangkan pada saat masa kecilnya. Pernah sekali ia merasa bahagia
karena bermain dengan salah satu teman masa kecilnya. Namun...
“Oiy Shin-chan, kita sudah
sampai.” Lagi-lagi, panggilan tiba-tiba dari Takao membuat Midorima tersadar
dari lamunannya.
“O.. iya,” kemudian Midorima
bergegas berdiri dari bangkunya. Diikuti dengan Takao.
--
Mereka berdua pun memasuki rumah
sakit. Tidak begitu banyak orang yang terlihat, tidak seperti biasanya. Mungkin
hanya beberapa orang saja yang melintas. Ada seorang anak perempuan yang
mendorongkan kursi roda ayahnya. Ada juga seorang anak yang menyuapi ibunya
yang ada di atas kursi roda.
Setelah berbicara dengan seorang
suster di depan meja akutansi, akhirnya mereka bisa menuju kamar dimana Ibu
Takao dirawat. Suster itu mengantarkan mereka berdua.
Setelah beberapa menit berjalan
mereka pun sampai. Ruangan lantai tiga nomor 180, dengan nama keluarga Takao.
Berada di depan ruangan itu saja sudah membuat Takao merasa gugup. Ia
sepertinya tidak siap dengan apa yang akan di lakukannya. Ia takut jika
peryataan yang dilontarkannya akan membuat ibunya kecewa.
“Huff...” Takao perlahan
menghembuskan nafasnya dan berusaha tenang setenang-tenangnya.
“Bagaimana? Kau siap?” kata
Midorima memastikan.
Takao mengangguk pelan tanda meng
iya kan. Takao pun membuka pintu kayu itu dan segera masuk kemudian menutupnya
kembali. Midorima memilih untuk menunggu di kursi tepat ada di depan ruangan
itu.
--
Beberapa menit berlalu. Takao
masih belum selesai berbicara dengan ibunya. Midorima masih tetap menunggu di
kursi depan. Ia mulai merasa bosan dengan tatapannya yang mulai sayu.
Tiba-tiba, pintu ruangan ibu
Takao terbuka. Takao terlihat seperti merasa sangat kesal. Melihat temannya
berekspresi seperti itu, Midorima pun berdiri dan segera bertanya.
“Takao? Ada apa?”
“Tidak...” jawab Takao dengan
nada kesalnya. “AKU TIDAK MAU BERBICARA DENGAN IBU LAGI!!!” kemudian Takao
berlari dengan kencangnya.
“Takao!!”
“Kazunari!! Tunggu dulu!!” teriak
salah satu nenek dari dalam ruangan yang kelihatannya nenek Takao.
Midorima pun mengejar Takao yang
berlari kencang tanpa menghiraukan siapapun bahkan orang yang hampir ia tabrak
“TAKAO!! TUNGGU!!!”
Takao pun terus berlari tanpa
menghiraukan teriakan panggilan dari Midorima. Ia terus berlari dengan air
matanya yang terus menetes itu. Berlari kencang tanpa tujuan yang jelas, itulah
yang mungkin akan dilakukan orang-orang yang frustasi akan suatu hal yang tidak
dapat ia terima.
--
Midorima terus mengejar Takao
hingga jauh bahkan sampai meninggalkan kota. Di daerah perbukitan belakang
kota. Ia mulai tahu kemana tujuan Takao.
Takao berlari menuju kebelakang
bukit dan masuk kedalam hutan yang jalannya menurun. Sepertinya benar dugaan
Midorima. Ladang bunga matahari itu tujuan Takao.
Takao terus berlari kedalam
ladang bunga Matahari itu. Terus masuk lebih dalam lagi hingga tidak terlihat.
“Takao!...” kata Midorima dengan
bingung mencari Takao. “Hhh... seharusnya aku sudah tau kalau ini terjadi
nanodayo..” kata Midorima dengan kesalnya. Kemudian ia mencari-cari tempat yang
dipenuhi rumput ditengah-tengah ladang bunga. Ia bisa dengan mudah mencari
Takao, karena jejak Takao terlihat dari beberapa bunga Matahari yang agak
miring akibat senggolan seseorang.
Kemudian Midorima melihat
rerumputan yang mereka singgahi kemarin. “Takao..”
Namun Takao tidak menghiraukan
Midorima. Ia tetap duduk sambil menekuk lututnya dan menutup matanya dengan
lengan diatas lututnya. Midorima pun memilih untuk duduk di sebelah Takao.
“Takao?..”
“Shin-chan...” Takao tetap dalam
posisi yang tadi “dia.. dia tetap melarang ku untuk bermain basket... bahkan ia
tidak menghiraukan saat aku mengatakan bahwa teman-teman ku semua membutuhkan
ku... aku tidak mau berbicara dengannya lagi..”
Kemudian Midorima teringat
kembali akan sesuatu. Sesuatu saat ia masih kecil “Takao, jika kau berkata
seperti itu, kau pasti akan menyesal suatu saat..”
“...?” Takao kemudian membuka
matanya dan memperlihatkan wajahnya.
“Dulu, di saat aku masih kecil.
Pertama kali aku menyukai basket. aku selalu melatih lemparan dan operan basket
ku. Saat itu aku tidak memiliki teman, hanya adik ku saja yang aku miliki
seorang. Ia adalah adik perempuan ku yang sangat aku sayangi.
Pada suatu siang di cuaca yang
panas. Aku mengajak adik ku untuk bermain basket. ia berwajah sedikit pucat.
Sebenarnya aku sudah memperingatkannya, tapi ia tidak mau dengar. Ia tetap
bermain bersama ku.. namun saat aku mengoper bola kepadanya... dia pingsan. Aku
merasa sangat bersalah atas kejadian itu. Ayah ku hanya marah-marah kepadaku.
Memukuli ku dengan kayu hingga bahkan aku tidak sanggup menangis. Sedangkan ibu
ku bersikeras untuk menghalangi niat ayah ku, namun ia tidak berhasil.
Saat aku mengunjung adik ku..
betapa terkejutnya aku saat mengetahui bahwa ia.. meninggal dunia..”
“...!” ekspresi Takao berubah
ketika ia pertama kali melihat Midorima mengeluarkan air matanya.
“Ayah ku terus mencaci maki ku. Memukuli
ku. Tapi saat ia berusaha memukul ku.. malah ibu ku yang terkena pukulan itu.
Ia langsung ambruk dan pingsan. Aku pun berkata jika aku tidak akan mau lagi
berbicara dengan Ayah. Di saat itu pula mata Ayah berubah. Pandangannya seperti
seluruh dunia menghitam dan perlahan menjauhinya. Ia langsung keluar dan
membawa mobilnya pergi entah kemana. Tapi saat ia baru saja berangkat... sebuah
truk besar menghantam mobilnya..”
“Shin-chan...” Takao dengan
tiba-tiba memeluk Midorima. “Aku mohon.. jangan diteruskan...” kata Takao
dengan pipinya yang mulai basah akibat ia tak kuasa menahan tangis saat
mendengar cerita dari masa lalu Midorima.
“Takao...” kata Midorima sambil
mengusap matanya beberapa kali dan berusaha menghilangkan air matanya. Namun
sepertinya itu sia-sia saja.
Sekarang Takao sadar. Bahwa ia
mengingkari janji lamanya kepada Ayahnya. Padahal ia sudah berjanji di ladang
bunga Matahari ini untuk menjaga ibunya dengan baik. Namun apa yang ia lakukan
saat ini adalah memarahi ibunya sendiri. Ia memetik salah satu bunga sebagai
tanda permintaan maafnya kepada ibunya.
--
Setelah mereka meninggalkan
ladang bunga Matahari tersebut, mereka kembali ke kota. Cukup lama juga, bahkan
sampai sore. Mereka pun tiba di rumah sakit umum Tokyo.
“Menurut mu apa yang akan ibu
katakan saat aku memberikan bunga ini?”
“Entahlah nanodayo. Itu
tergantung dari bagaimana cara mu memberikannya..”
Langkah mereka berhenti ketika
melihat kamar ibu Takao di penuhi banyak orang. Nenek Takao terlihat muram
dengan berdiri di depan pintu sendirian.
“Ada apa ini?!” kata Takao
terkejut melihat ini. “Nenek ada apa?”
Nenek Takao dengan perlahan
menoleh. Tatapannya semakin dalam ketika ia melihat Takao. “Kazunari ... Ibu
mu...”
“Ada apa dengan ibu?!”
“Ibu mu...”
Entah apa yang dikatakan nenek
Takao. Namun itu membuat Takao dan Midorima terkejut. Bahkan Takao sampai
menjatuhkan bunga Mataharinya ke lantai.
--bersambung—
Prolog:
Sebuah sentuhan
angin yang lembut membuat ku sedikit kedinginan. Di bawah pohon besar ini aku
merasa sedikit hangat. Pohon besar rindang di tengah padang rumput seluas ini.
Namun, saat aku hendak membaringkan tubuh ku di bawahnya, tiba-tiba salah satu
daun gugur ke atas wajah ku dengan lembut. Sepertinya memang benar, musim
dingin sebentar lagi.
-eps5- Minggu yang
kelam-
“Tunggu, kenapa? Kenapa seperti
itu?! kau hebat dalam bermain basket, dan ibu mu. Bukan kah ibu mu selalu
berharab jika kemampuan basket mu bisa melebihi ayah mu?” sifat Midorima
berubah setelah mendengar kalimat dari Takao barusan.
“Dia bilang ia takut jika hal
yang sama menimpa ku... ”
“Kau menjawab apa?”
“Aku belum memberikan jawaban,
tapi aku akan memberikannya besok.. aku masih bingung ingin menjawab apa. Jika
aku berhenti, aku tidak akan pernah menghabiskan waktu bersama teman-teman ku
lagi. Tidak akan ada pertandingan yang membuat ku selalu bersemangat. Dan
mungkin,.. hidup ku tidak akan berwarna lagi..”
Midorima terdiam melihat ekspresi
Takao yang menunjukan wajah kesal tidak terimanya itu. Matanya yang berkaca-kaca
juga menandakan bahwa ia memang benar-benar kesal, apalagi ibunya sendiri yang
menyuruhnya berhenti. Mungkin Midorima tidak begitu tau bagaimana keluarga
Takao, tapi ia tau jika Takao memang tidak terima dengan ini semua.
“Jika kau memang tidak tau apa
yang harus kau katakan kepada ibu mu, kenapa kau tidak bilang yang sebenarnya
saja.”
“Aku.. aku tidak bisa, jika aku
katakan yang sebenarnya, ia akan tetap menyuruhku untuk keluar dari basket...”
“Tidak ada orang tua yang seperti
itu di dunia ini..” kata-kata Midorima membuat Takao mengangkat kepalanya dan
melihat langsung kewajah Midorima. “Aku yakin ibu mu pasti akan mengerti”
Takao terdiam sambil mengusap
pipinya yang basah karena air matanya yang menetes tadi. Ia perlahan memunculkan
senyumannya.
“Kau benar Shin-chan, aku yakin
ibu pasti akan mengerti jika aku lebih terbuka dengannya..” kata Takao
tersenyum bahagia “Terimakasih..”
Midorima membenarkan kacamatanya.
“Jangan salah sangka, aku melakukannya hanya karena kau masih di butuh kan
dalam tim nanodayo..” kemudian Midorima langsung berbaring dan menarik selimutnya.
“Benarkah?.. tapi sepertinya bukan begitu..” kata Takao
yang megerti betul sifat Midorima yang pemalu.
--
Sinar matahari pagi memancar dari
balik tirai di jendela kamar Takao. Tidak di sangka jika Midorima benar-benar
tidur nyenyak di kamar Takao. Ia pun melepas topi tidurnya dan memakai kacamatanya.
Ia baru tersadar jika Takao sudah tidak ada di atas futon yang ada di atas
lantai.
“Takao?..” Midorima pun berdiri
dari kasur yang ia tiduri sepanjang malam ini. Sesekali ia meregangkan tubuhnya.
Ia menuruni tangga menuju lantai
satu. Di saat ia menuju lantai satu, ada bau enak tercium dari dapur. Rupanya
itu Takao yang sedang memasak sarapan. Midorima pun menghampiri Takao yang
sedang memasak.
Perlahan dan berusaha tidak
mengeluarkan suara, Midorima melangkah.
“Kau sudah bangun Shin-chan?”
“Bagaimana kau tau ini aku
nanodayo?”
“Haha, itu pertanyaan bodoh,
dirumah ini hanya ada kau dan aku... dan mana mungkin aku lupa jika kau
menginap di sini”
“Hh.. ” Midorima melihat dan baru
tersadar bahwa makanan yang di masak Takao sangatlah banyak. Mulai dari Sushi,
Katsu, Ebi Katsu, hingga Okonomiyaki. Tidak pernah sebelumnya ia melihat
makanan sebanyak ini dalam satu ruangan kecuali saat di restaurant. “Makanan
sebanyak itu untuk apa?”
“Ini? Yang bagian ini untuk
sarapan dan yang bagian ini untuk menjenguk ibu ku”
“Kau akan menjenguk ibu mu?”
“Iya, dan aku juga ingin kau
mengantar kan ku kesana,”
“Kenapa harus aku nanodayo?”
“Karena jika tidak ada yang
mengantarkan rasanya akan sangat sepi sekali. Dan juga, kau sudah menginap
dirumah ini kan?” kata Takao sambil mengeluarkan senyuman aneh pada Midorima.
Membuat Midorima juga merasakan hal yang aneh.
“Baiklah kalau kau memaksa ku
nanodayo..”
“Aku kan tidak memaksa... aku
hanya mengajak mu haha, itu berarti kau memang mau kan hahaha!” kata Takao
sambil memegangi perutnya yang sakit karena tertawa.
“Berisik nanodayo.. sudahlah aku
mau mencuci muka ku dulu!” kemudian Midorima berlalu dari dapur.
“Tunggu Shin-chan! Kamar mandinya
bukan di sebelah kana....”
Gubrak!!
Suara benda jatuh membuat Takao
terkejut dan menghentikan masaknya. Ia bergegas keluar dapur dan melihat
Midorima. Ia melihat Midorima yang sudah terkubur perabotan rumah tangga dari
kayu dan juga besi. Rupanya yang Midorima buka adalah lemari. Sedangkan kamar
mandinya ada di depan lemari.
“PfftBWAHAHAHA!!! AKU SUDAH
BILANG PADAMU!!HAHA!!”
“Jangan tertawa nanodayo!!”
--
Hari ini, adalah hari Minggu. Di
kota banyak pejalan kaki. Mereka hendak pergi untuk berjalan-jalan sejenak,
atau berbelanja.
Midorima dan Takao terlihat
menunggu bus di halte pinggir jalan. Takao membawa tasnya yang berisi banyak
sekali makanan. Sedangkan Midorima membawa Tas dan juga lucky item hari ini
berupa boneka beruang tedy memakai topi.
“Aku tidak percaya kau membawa
semua lucky item mu di tas” kata Takao dengan heran.
“Sudah kau diam saja nanodayo.
Aku harus bersiap-siap untuk membawa lucky item apa hari ini.. aku tidak mau
mendapat kesialan nanodayo..” kata Midorima sambil membenarkan kacamatanya.
“Kesialan ya?...” kemudian Takao
melihat dua orang yang berada sekitar beberapa meter dari mereka memasuki rumah
makan. Seseorang yang nampaknya ia kenal jelas. “Bukannya itu Kagami dan..
Momoi..”
Kemudian Midorima menoleh. Itu
memang mereka. “Itu mereka nanodayo” kata Midorima dengan kesal mengingat
kejadian yang selalu ia lalui ketika ada Kagami.
“Haha.. aku baru sadar kalau
mereka akhirnya pacaran juga, terakhir aku dengar, Momoi memanggilnya Taiga-chan
ya? Hahaha! O .. iya ayo kita dekati mereka.”
“Lebih baik jangan nanodayo..” cegah
Midorima.
“Hah?”
“Aku tidak ingin berurusan dengan
mereka, lagi pula, busnya datang”
Kemudian bus itu benar-benar
datang.
“Kau benar, ayo..”
Kemudian Midorima dan Takao
memasuki bus itu dan segera menduduki kursi yang masih kosong. Kebetulan, bus
kota sedang sepi-sepinya. Ya, karena ini masih pagi dan belum banyak orang yang
menggunakan angkutan umum. Dengan begitu mereka bisa lebih leluasa lagi memilih
kursi.
Takao duduk di sebelah jendela.
Sedangkan Midorima memilih untuk duduk di bangku luar. Takao terlihat menikmati
pemandangan yang dilihatnya di dekat jendela. Meskipun hanya toko, warung
makan, dan berbagai gedung saja yang ia lihat. Tapi, ia terlihat menikmatinya
seperti anak kecil.
“Oiy!” Midorima memanggil Takao
karena merasa sedikit terganggu dengan tingkah kekanak-kanakan Takao.
“Ada apa Shin-chan?”
“Tingkah mu itu kekanak-kanakan
sekali nanodayo, kalau boleh jujur, itu sedikit mengganggu ku”
“Hah? Kau merasa terganggu?
Berlebihan sekali..” ejek Takao dengan senyumannya.
“Terserah apa katamu nanodayo..”
“Aku hanya mengingat saat aku
berada di bus ini pada saat aku masih kecil, bersama ayah dan ibu ku. Aku tidak
bisa melupakan hal itu, menyenangkan...” kata Takao kemudian terdiam da melihat
kembali keluar jendela.
Kali ini Midorima memilih untuk
membiarkan Takao seperti itu. Mengingat bahwa ia sendiri tidak pernah mengalami
hal menyenangkan pada saat masa kecilnya. Pernah sekali ia merasa bahagia
karena bermain dengan salah satu teman masa kecilnya. Namun...
“Oiy Shin-chan, kita sudah
sampai.” Lagi-lagi, panggilan tiba-tiba dari Takao membuat Midorima tersadar
dari lamunannya.
“O.. iya,” kemudian Midorima
bergegas berdiri dari bangkunya. Diikuti dengan Takao.
--
Mereka berdua pun memasuki rumah
sakit. Tidak begitu banyak orang yang terlihat, tidak seperti biasanya. Mungkin
hanya beberapa orang saja yang melintas. Ada seorang anak perempuan yang
mendorongkan kursi roda ayahnya. Ada juga seorang anak yang menyuapi ibunya
yang ada di atas kursi roda.
Setelah berbicara dengan seorang
suster di depan meja akutansi, akhirnya mereka bisa menuju kamar dimana Ibu
Takao dirawat. Suster itu mengantarkan mereka berdua.
Setelah beberapa menit berjalan
mereka pun sampai. Ruangan lantai tiga nomor 180, dengan nama keluarga Takao.
Berada di depan ruangan itu saja sudah membuat Takao merasa gugup. Ia
sepertinya tidak siap dengan apa yang akan di lakukannya. Ia takut jika
peryataan yang dilontarkannya akan membuat ibunya kecewa.
“Huff...” Takao perlahan
menghembuskan nafasnya dan berusaha tenang setenang-tenangnya.
“Bagaimana? Kau siap?” kata
Midorima memastikan.
Takao mengangguk pelan tanda meng
iya kan. Takao pun membuka pintu kayu itu dan segera masuk kemudian menutupnya
kembali. Midorima memilih untuk menunggu di kursi tepat ada di depan ruangan
itu.
--
Beberapa menit berlalu. Takao
masih belum selesai berbicara dengan ibunya. Midorima masih tetap menunggu di
kursi depan. Ia mulai merasa bosan dengan tatapannya yang mulai sayu.
Tiba-tiba, pintu ruangan ibu
Takao terbuka. Takao terlihat seperti merasa sangat kesal. Melihat temannya
berekspresi seperti itu, Midorima pun berdiri dan segera bertanya.
“Takao? Ada apa?”
“Tidak...” jawab Takao dengan
nada kesalnya. “AKU TIDAK MAU BERBICARA DENGAN IBU LAGI!!!” kemudian Takao
berlari dengan kencangnya.
“Takao!!”
“Kazunari!! Tunggu dulu!!” teriak
salah satu nenek dari dalam ruangan yang kelihatannya nenek Takao.
Midorima pun mengejar Takao yang
berlari kencang tanpa menghiraukan siapapun bahkan orang yang hampir ia tabrak
“TAKAO!! TUNGGU!!!”
Takao pun terus berlari tanpa
menghiraukan teriakan panggilan dari Midorima. Ia terus berlari dengan air
matanya yang terus menetes itu. Berlari kencang tanpa tujuan yang jelas, itulah
yang mungkin akan dilakukan orang-orang yang frustasi akan suatu hal yang tidak
dapat ia terima.
--
Midorima terus mengejar Takao
hingga jauh bahkan sampai meninggalkan kota. Di daerah perbukitan belakang
kota. Ia mulai tahu kemana tujuan Takao.
Takao berlari menuju kebelakang
bukit dan masuk kedalam hutan yang jalannya menurun. Sepertinya benar dugaan
Midorima. Ladang bunga matahari itu tujuan Takao.
Takao terus berlari kedalam
ladang bunga Matahari itu. Terus masuk lebih dalam lagi hingga tidak terlihat.
“Takao!...” kata Midorima dengan
bingung mencari Takao. “Hhh... seharusnya aku sudah tau kalau ini terjadi
nanodayo..” kata Midorima dengan kesalnya. Kemudian ia mencari-cari tempat yang
dipenuhi rumput ditengah-tengah ladang bunga. Ia bisa dengan mudah mencari
Takao, karena jejak Takao terlihat dari beberapa bunga Matahari yang agak
miring akibat senggolan seseorang.
Kemudian Midorima melihat
rerumputan yang mereka singgahi kemarin. “Takao..”
Namun Takao tidak menghiraukan
Midorima. Ia tetap duduk sambil menekuk lututnya dan menutup matanya dengan
lengan diatas lututnya. Midorima pun memilih untuk duduk di sebelah Takao.
“Takao?..”
“Shin-chan...” Takao tetap dalam
posisi yang tadi “dia.. dia tetap melarang ku untuk bermain basket... bahkan ia
tidak menghiraukan saat aku mengatakan bahwa teman-teman ku semua membutuhkan
ku... aku tidak mau berbicara dengannya lagi..”
Kemudian Midorima teringat
kembali akan sesuatu. Sesuatu saat ia masih kecil “Takao, jika kau berkata
seperti itu, kau pasti akan menyesal suatu saat..”
“...?” Takao kemudian membuka
matanya dan memperlihatkan wajahnya.
“Dulu, di saat aku masih kecil.
Pertama kali aku menyukai basket. aku selalu melatih lemparan dan operan basket
ku. Saat itu aku tidak memiliki teman, hanya adik ku saja yang aku miliki
seorang. Ia adalah adik perempuan ku yang sangat aku sayangi.
Pada suatu siang di cuaca yang
panas. Aku mengajak adik ku untuk bermain basket. ia berwajah sedikit pucat.
Sebenarnya aku sudah memperingatkannya, tapi ia tidak mau dengar. Ia tetap
bermain bersama ku.. namun saat aku mengoper bola kepadanya... dia pingsan. Aku
merasa sangat bersalah atas kejadian itu. Ayah ku hanya marah-marah kepadaku.
Memukuli ku dengan kayu hingga bahkan aku tidak sanggup menangis. Sedangkan ibu
ku bersikeras untuk menghalangi niat ayah ku, namun ia tidak berhasil.
Saat aku mengunjung adik ku..
betapa terkejutnya aku saat mengetahui bahwa ia.. meninggal dunia..”
“...!” ekspresi Takao berubah
ketika ia pertama kali melihat Midorima mengeluarkan air matanya.
“Ayah ku terus mencaci maki ku. Memukuli
ku. Tapi saat ia berusaha memukul ku.. malah ibu ku yang terkena pukulan itu.
Ia langsung ambruk dan pingsan. Aku pun berkata jika aku tidak akan mau lagi
berbicara dengan Ayah. Di saat itu pula mata Ayah berubah. Pandangannya seperti
seluruh dunia menghitam dan perlahan menjauhinya. Ia langsung keluar dan
membawa mobilnya pergi entah kemana. Tapi saat ia baru saja berangkat... sebuah
truk besar menghantam mobilnya..”
“Shin-chan...” Takao dengan
tiba-tiba memeluk Midorima. “Aku mohon.. jangan diteruskan...” kata Takao
dengan pipinya yang mulai basah akibat ia tak kuasa menahan tangis saat
mendengar cerita dari masa lalu Midorima.
“Takao...” kata Midorima sambil
mengusap matanya beberapa kali dan berusaha menghilangkan air matanya. Namun
sepertinya itu sia-sia saja.
Sekarang Takao sadar. Bahwa ia
mengingkari janji lamanya kepada Ayahnya. Padahal ia sudah berjanji di ladang
bunga Matahari ini untuk menjaga ibunya dengan baik. Namun apa yang ia lakukan
saat ini adalah memarahi ibunya sendiri. Ia memetik salah satu bunga sebagai
tanda permintaan maafnya kepada ibunya.
--
Setelah mereka meninggalkan
ladang bunga Matahari tersebut, mereka kembali ke kota. Cukup lama juga, bahkan
sampai sore. Mereka pun tiba di rumah sakit umum Tokyo.
“Menurut mu apa yang akan ibu
katakan saat aku memberikan bunga ini?”
“Entahlah nanodayo. Itu
tergantung dari bagaimana cara mu memberikannya..”
Langkah mereka berhenti ketika
melihat kamar ibu Takao di penuhi banyak orang. Nenek Takao terlihat muram
dengan berdiri di depan pintu sendirian.
“Ada apa ini?!” kata Takao
terkejut melihat ini. “Nenek ada apa?”
Nenek Takao dengan perlahan
menoleh. Tatapannya semakin dalam ketika ia melihat Takao. “Kazunari ... Ibu
mu...”
“Ada apa dengan ibu?!”
“Ibu mu...”
Entah apa yang dikatakan nenek
Takao. Namun itu membuat Takao dan Midorima terkejut. Bahkan Takao sampai
menjatuhkan bunga Mataharinya ke lantai.
--bersambung—
Prolog:
Sebuah sentuhan
angin yang lembut membuat ku sedikit kedinginan. Di bawah pohon besar ini aku
merasa sedikit hangat. Pohon besar rindang di tengah padang rumput seluas ini.
Namun, saat aku hendak membaringkan tubuh ku di bawahnya, tiba-tiba salah satu
daun gugur ke atas wajah ku dengan lembut. Sepertinya memang benar, musim
dingin sebentar lagi.
-eps5- Minggu yang
kelam-
“Tunggu, kenapa? Kenapa seperti
itu?! kau hebat dalam bermain basket, dan ibu mu. Bukan kah ibu mu selalu
berharab jika kemampuan basket mu bisa melebihi ayah mu?” sifat Midorima
berubah setelah mendengar kalimat dari Takao barusan.
“Dia bilang ia takut jika hal
yang sama menimpa ku... ”
“Kau menjawab apa?”
“Aku belum memberikan jawaban,
tapi aku akan memberikannya besok.. aku masih bingung ingin menjawab apa. Jika
aku berhenti, aku tidak akan pernah menghabiskan waktu bersama teman-teman ku
lagi. Tidak akan ada pertandingan yang membuat ku selalu bersemangat. Dan
mungkin,.. hidup ku tidak akan berwarna lagi..”
Midorima terdiam melihat ekspresi
Takao yang menunjukan wajah kesal tidak terimanya itu. Matanya yang berkaca-kaca
juga menandakan bahwa ia memang benar-benar kesal, apalagi ibunya sendiri yang
menyuruhnya berhenti. Mungkin Midorima tidak begitu tau bagaimana keluarga
Takao, tapi ia tau jika Takao memang tidak terima dengan ini semua.
“Jika kau memang tidak tau apa
yang harus kau katakan kepada ibu mu, kenapa kau tidak bilang yang sebenarnya
saja.”
“Aku.. aku tidak bisa, jika aku
katakan yang sebenarnya, ia akan tetap menyuruhku untuk keluar dari basket...”
“Tidak ada orang tua yang seperti
itu di dunia ini..” kata-kata Midorima membuat Takao mengangkat kepalanya dan
melihat langsung kewajah Midorima. “Aku yakin ibu mu pasti akan mengerti”
Takao terdiam sambil mengusap
pipinya yang basah karena air matanya yang menetes tadi. Ia perlahan memunculkan
senyumannya.
“Kau benar Shin-chan, aku yakin
ibu pasti akan mengerti jika aku lebih terbuka dengannya..” kata Takao
tersenyum bahagia “Terimakasih..”
Midorima membenarkan kacamatanya.
“Jangan salah sangka, aku melakukannya hanya karena kau masih di butuh kan
dalam tim nanodayo..” kemudian Midorima langsung berbaring dan menarik selimutnya.
“Benarkah?.. tapi sepertinya bukan begitu..” kata Takao
yang megerti betul sifat Midorima yang pemalu.
--
Sinar matahari pagi memancar dari
balik tirai di jendela kamar Takao. Tidak di sangka jika Midorima benar-benar
tidur nyenyak di kamar Takao. Ia pun melepas topi tidurnya dan memakai kacamatanya.
Ia baru tersadar jika Takao sudah tidak ada di atas futon yang ada di atas
lantai.
“Takao?..” Midorima pun berdiri
dari kasur yang ia tiduri sepanjang malam ini. Sesekali ia meregangkan tubuhnya.
Ia menuruni tangga menuju lantai
satu. Di saat ia menuju lantai satu, ada bau enak tercium dari dapur. Rupanya
itu Takao yang sedang memasak sarapan. Midorima pun menghampiri Takao yang
sedang memasak.
Perlahan dan berusaha tidak
mengeluarkan suara, Midorima melangkah.
“Kau sudah bangun Shin-chan?”
“Bagaimana kau tau ini aku
nanodayo?”
“Haha, itu pertanyaan bodoh,
dirumah ini hanya ada kau dan aku... dan mana mungkin aku lupa jika kau
menginap di sini”
“Hh.. ” Midorima melihat dan baru
tersadar bahwa makanan yang di masak Takao sangatlah banyak. Mulai dari Sushi,
Katsu, Ebi Katsu, hingga Okonomiyaki. Tidak pernah sebelumnya ia melihat
makanan sebanyak ini dalam satu ruangan kecuali saat di restaurant. “Makanan
sebanyak itu untuk apa?”
“Ini? Yang bagian ini untuk
sarapan dan yang bagian ini untuk menjenguk ibu ku”
“Kau akan menjenguk ibu mu?”
“Iya, dan aku juga ingin kau
mengantar kan ku kesana,”
“Kenapa harus aku nanodayo?”
“Karena jika tidak ada yang
mengantarkan rasanya akan sangat sepi sekali. Dan juga, kau sudah menginap
dirumah ini kan?” kata Takao sambil mengeluarkan senyuman aneh pada Midorima.
Membuat Midorima juga merasakan hal yang aneh.
“Baiklah kalau kau memaksa ku
nanodayo..”
“Aku kan tidak memaksa... aku
hanya mengajak mu haha, itu berarti kau memang mau kan hahaha!” kata Takao
sambil memegangi perutnya yang sakit karena tertawa.
“Berisik nanodayo.. sudahlah aku
mau mencuci muka ku dulu!” kemudian Midorima berlalu dari dapur.
“Tunggu Shin-chan! Kamar mandinya
bukan di sebelah kana....”
Gubrak!!
Suara benda jatuh membuat Takao
terkejut dan menghentikan masaknya. Ia bergegas keluar dapur dan melihat
Midorima. Ia melihat Midorima yang sudah terkubur perabotan rumah tangga dari
kayu dan juga besi. Rupanya yang Midorima buka adalah lemari. Sedangkan kamar
mandinya ada di depan lemari.
“PfftBWAHAHAHA!!! AKU SUDAH
BILANG PADAMU!!HAHA!!”
“Jangan tertawa nanodayo!!”
--
Hari ini, adalah hari Minggu. Di
kota banyak pejalan kaki. Mereka hendak pergi untuk berjalan-jalan sejenak,
atau berbelanja.
Midorima dan Takao terlihat
menunggu bus di halte pinggir jalan. Takao membawa tasnya yang berisi banyak
sekali makanan. Sedangkan Midorima membawa Tas dan juga lucky item hari ini
berupa boneka beruang tedy memakai topi.
“Aku tidak percaya kau membawa
semua lucky item mu di tas” kata Takao dengan heran.
“Sudah kau diam saja nanodayo.
Aku harus bersiap-siap untuk membawa lucky item apa hari ini.. aku tidak mau
mendapat kesialan nanodayo..” kata Midorima sambil membenarkan kacamatanya.
“Kesialan ya?...” kemudian Takao
melihat dua orang yang berada sekitar beberapa meter dari mereka memasuki rumah
makan. Seseorang yang nampaknya ia kenal jelas. “Bukannya itu Kagami dan..
Momoi..”
Kemudian Midorima menoleh. Itu
memang mereka. “Itu mereka nanodayo” kata Midorima dengan kesal mengingat
kejadian yang selalu ia lalui ketika ada Kagami.
“Haha.. aku baru sadar kalau
mereka akhirnya pacaran juga, terakhir aku dengar, Momoi memanggilnya Taiga-chan
ya? Hahaha! O .. iya ayo kita dekati mereka.”
“Lebih baik jangan nanodayo..” cegah
Midorima.
“Hah?”
“Aku tidak ingin berurusan dengan
mereka, lagi pula, busnya datang”
Kemudian bus itu benar-benar
datang.
“Kau benar, ayo..”
Kemudian Midorima dan Takao
memasuki bus itu dan segera menduduki kursi yang masih kosong. Kebetulan, bus
kota sedang sepi-sepinya. Ya, karena ini masih pagi dan belum banyak orang yang
menggunakan angkutan umum. Dengan begitu mereka bisa lebih leluasa lagi memilih
kursi.
Takao duduk di sebelah jendela.
Sedangkan Midorima memilih untuk duduk di bangku luar. Takao terlihat menikmati
pemandangan yang dilihatnya di dekat jendela. Meskipun hanya toko, warung
makan, dan berbagai gedung saja yang ia lihat. Tapi, ia terlihat menikmatinya
seperti anak kecil.
“Oiy!” Midorima memanggil Takao
karena merasa sedikit terganggu dengan tingkah kekanak-kanakan Takao.
“Ada apa Shin-chan?”
“Tingkah mu itu kekanak-kanakan
sekali nanodayo, kalau boleh jujur, itu sedikit mengganggu ku”
“Hah? Kau merasa terganggu?
Berlebihan sekali..” ejek Takao dengan senyumannya.
“Terserah apa katamu nanodayo..”
“Aku hanya mengingat saat aku
berada di bus ini pada saat aku masih kecil, bersama ayah dan ibu ku. Aku tidak
bisa melupakan hal itu, menyenangkan...” kata Takao kemudian terdiam da melihat
kembali keluar jendela.
Kali ini Midorima memilih untuk
membiarkan Takao seperti itu. Mengingat bahwa ia sendiri tidak pernah mengalami
hal menyenangkan pada saat masa kecilnya. Pernah sekali ia merasa bahagia
karena bermain dengan salah satu teman masa kecilnya. Namun...
“Oiy Shin-chan, kita sudah
sampai.” Lagi-lagi, panggilan tiba-tiba dari Takao membuat Midorima tersadar
dari lamunannya.
“O.. iya,” kemudian Midorima
bergegas berdiri dari bangkunya. Diikuti dengan Takao.
--
Mereka berdua pun memasuki rumah
sakit. Tidak begitu banyak orang yang terlihat, tidak seperti biasanya. Mungkin
hanya beberapa orang saja yang melintas. Ada seorang anak perempuan yang
mendorongkan kursi roda ayahnya. Ada juga seorang anak yang menyuapi ibunya
yang ada di atas kursi roda.
Setelah berbicara dengan seorang
suster di depan meja akutansi, akhirnya mereka bisa menuju kamar dimana Ibu
Takao dirawat. Suster itu mengantarkan mereka berdua.
Setelah beberapa menit berjalan
mereka pun sampai. Ruangan lantai tiga nomor 180, dengan nama keluarga Takao.
Berada di depan ruangan itu saja sudah membuat Takao merasa gugup. Ia
sepertinya tidak siap dengan apa yang akan di lakukannya. Ia takut jika
peryataan yang dilontarkannya akan membuat ibunya kecewa.
“Huff...” Takao perlahan
menghembuskan nafasnya dan berusaha tenang setenang-tenangnya.
“Bagaimana? Kau siap?” kata
Midorima memastikan.
Takao mengangguk pelan tanda meng
iya kan. Takao pun membuka pintu kayu itu dan segera masuk kemudian menutupnya
kembali. Midorima memilih untuk menunggu di kursi tepat ada di depan ruangan
itu.
--
Beberapa menit berlalu. Takao
masih belum selesai berbicara dengan ibunya. Midorima masih tetap menunggu di
kursi depan. Ia mulai merasa bosan dengan tatapannya yang mulai sayu.
Tiba-tiba, pintu ruangan ibu
Takao terbuka. Takao terlihat seperti merasa sangat kesal. Melihat temannya
berekspresi seperti itu, Midorima pun berdiri dan segera bertanya.
“Takao? Ada apa?”
“Tidak...” jawab Takao dengan
nada kesalnya. “AKU TIDAK MAU BERBICARA DENGAN IBU LAGI!!!” kemudian Takao
berlari dengan kencangnya.
“Takao!!”
“Kazunari!! Tunggu dulu!!” teriak
salah satu nenek dari dalam ruangan yang kelihatannya nenek Takao.
Midorima pun mengejar Takao yang
berlari kencang tanpa menghiraukan siapapun bahkan orang yang hampir ia tabrak
“TAKAO!! TUNGGU!!!”
Takao pun terus berlari tanpa
menghiraukan teriakan panggilan dari Midorima. Ia terus berlari dengan air
matanya yang terus menetes itu. Berlari kencang tanpa tujuan yang jelas, itulah
yang mungkin akan dilakukan orang-orang yang frustasi akan suatu hal yang tidak
dapat ia terima.
--
Midorima terus mengejar Takao
hingga jauh bahkan sampai meninggalkan kota. Di daerah perbukitan belakang
kota. Ia mulai tahu kemana tujuan Takao.
Takao berlari menuju kebelakang
bukit dan masuk kedalam hutan yang jalannya menurun. Sepertinya benar dugaan
Midorima. Ladang bunga matahari itu tujuan Takao.
Takao terus berlari kedalam
ladang bunga Matahari itu. Terus masuk lebih dalam lagi hingga tidak terlihat.
“Takao!...” kata Midorima dengan
bingung mencari Takao. “Hhh... seharusnya aku sudah tau kalau ini terjadi
nanodayo..” kata Midorima dengan kesalnya. Kemudian ia mencari-cari tempat yang
dipenuhi rumput ditengah-tengah ladang bunga. Ia bisa dengan mudah mencari
Takao, karena jejak Takao terlihat dari beberapa bunga Matahari yang agak
miring akibat senggolan seseorang.
Kemudian Midorima melihat
rerumputan yang mereka singgahi kemarin. “Takao..”
Namun Takao tidak menghiraukan
Midorima. Ia tetap duduk sambil menekuk lututnya dan menutup matanya dengan
lengan diatas lututnya. Midorima pun memilih untuk duduk di sebelah Takao.
“Takao?..”
“Shin-chan...” Takao tetap dalam
posisi yang tadi “dia.. dia tetap melarang ku untuk bermain basket... bahkan ia
tidak menghiraukan saat aku mengatakan bahwa teman-teman ku semua membutuhkan
ku... aku tidak mau berbicara dengannya lagi..”
Kemudian Midorima teringat
kembali akan sesuatu. Sesuatu saat ia masih kecil “Takao, jika kau berkata
seperti itu, kau pasti akan menyesal suatu saat..”
“...?” Takao kemudian membuka
matanya dan memperlihatkan wajahnya.
“Dulu, di saat aku masih kecil.
Pertama kali aku menyukai basket. aku selalu melatih lemparan dan operan basket
ku. Saat itu aku tidak memiliki teman, hanya adik ku saja yang aku miliki
seorang. Ia adalah adik perempuan ku yang sangat aku sayangi.
Pada suatu siang di cuaca yang
panas. Aku mengajak adik ku untuk bermain basket. ia berwajah sedikit pucat.
Sebenarnya aku sudah memperingatkannya, tapi ia tidak mau dengar. Ia tetap
bermain bersama ku.. namun saat aku mengoper bola kepadanya... dia pingsan. Aku
merasa sangat bersalah atas kejadian itu. Ayah ku hanya marah-marah kepadaku.
Memukuli ku dengan kayu hingga bahkan aku tidak sanggup menangis. Sedangkan ibu
ku bersikeras untuk menghalangi niat ayah ku, namun ia tidak berhasil.
Saat aku mengunjung adik ku..
betapa terkejutnya aku saat mengetahui bahwa ia.. meninggal dunia..”
“...!” ekspresi Takao berubah
ketika ia pertama kali melihat Midorima mengeluarkan air matanya.
“Ayah ku terus mencaci maki ku. Memukuli
ku. Tapi saat ia berusaha memukul ku.. malah ibu ku yang terkena pukulan itu.
Ia langsung ambruk dan pingsan. Aku pun berkata jika aku tidak akan mau lagi
berbicara dengan Ayah. Di saat itu pula mata Ayah berubah. Pandangannya seperti
seluruh dunia menghitam dan perlahan menjauhinya. Ia langsung keluar dan
membawa mobilnya pergi entah kemana. Tapi saat ia baru saja berangkat... sebuah
truk besar menghantam mobilnya..”
“Shin-chan...” Takao dengan
tiba-tiba memeluk Midorima. “Aku mohon.. jangan diteruskan...” kata Takao
dengan pipinya yang mulai basah akibat ia tak kuasa menahan tangis saat
mendengar cerita dari masa lalu Midorima.
“Takao...” kata Midorima sambil
mengusap matanya beberapa kali dan berusaha menghilangkan air matanya. Namun
sepertinya itu sia-sia saja.
Sekarang Takao sadar. Bahwa ia
mengingkari janji lamanya kepada Ayahnya. Padahal ia sudah berjanji di ladang
bunga Matahari ini untuk menjaga ibunya dengan baik. Namun apa yang ia lakukan
saat ini adalah memarahi ibunya sendiri. Ia memetik salah satu bunga sebagai
tanda permintaan maafnya kepada ibunya.
--
Setelah mereka meninggalkan
ladang bunga Matahari tersebut, mereka kembali ke kota. Cukup lama juga, bahkan
sampai sore. Mereka pun tiba di rumah sakit umum Tokyo.
“Menurut mu apa yang akan ibu
katakan saat aku memberikan bunga ini?”
“Entahlah nanodayo. Itu
tergantung dari bagaimana cara mu memberikannya..”
Langkah mereka berhenti ketika
melihat kamar ibu Takao di penuhi banyak orang. Nenek Takao terlihat muram
dengan berdiri di depan pintu sendirian.
“Ada apa ini?!” kata Takao
terkejut melihat ini. “Nenek ada apa?”
Nenek Takao dengan perlahan
menoleh. Tatapannya semakin dalam ketika ia melihat Takao. “Kazunari ... Ibu
mu...”
“Ada apa dengan ibu?!”
“Ibu mu...”
Entah apa yang dikatakan nenek
Takao. Namun itu membuat Takao dan Midorima terkejut. Bahkan Takao sampai
menjatuhkan bunga Mataharinya ke lantai.
--bersambung—
Tidak ada komentar:
Posting Komentar