eps6- Maaf –
Takao langsung berlari meninggalkan nenek dan Midorima
menuju dalam kamar. Midorima tidak bisa mencegah Takao saat ini. Ia tidak bisa
begitu saja menghentikan seseorang yang telah kehilangan orang yang sangat
dicintainya.
“Midorima Shintaro?” panggil nenek Takao membuat Midorima
mengangkat kepalanya dari tundukan berdukanya.
“Iya?”
“Kau adalah orang yang selalu diceritakan Kazunari. Kau
itu anak yang baik dan disiplin dan aku percaya itu. Kau juga anak yang ramah
seperti yang Kazunari katakan...”
Midorima berpikir setelah mendengar kata-kata itu dari
nenek Takao. Takao masih menganggapnya ramah? Padahal ia sering menyuruhnya
untuk mengayuhkan sepeda untuknya. Tapi Takao masih menganggapnya ramah?
Tanpa berkata apa-apa, Midorima hanya bisa menatap nenek
Takao dengan dalam.
“Tolong jaga Takao...” itu kata-kata terakhir yang
diucapkan nenek Takao sebelum ia pergi kedalam kamar lagi.
Midorima hanya bisa terdiam. Beberapa air mata mulai
menetes dari matanya. Ia tidak menyangka jika ia sekejam ini terhadap Takao.
Bahkan Takao hanya menceritakan kebaikan Midorima saja. Ia tidak pernah mengeluh
terhadapnya.
--
Malam ini terasa seperti mendung meskipun hari ini hampir
tidak ada awan sedikit pun. Di dalam ruang pemakaman, di sanalah Takao dan
Midorima masih terdiam. Kali ini yang tersisa hanya mereka berdua. Takao terus
duduk berdiam diri di depan altar ibunya yang di penuhi bunga dan ada satu foto
di atas bunga-bunga itu. Ia masih tidak percaya jika hal ini terjadi.
Midorima pun mencoba untuk memberanikan dirinya berbicara
kepada Takao.
“Takao... aku tau apa yang kau rasakan nanodayo... tapi,
kau harus pulang, banyak orang yang menunggu mu di rumah”
“...Ini tidak seperti yang kau bayangkan. Aku telah
mengingkari janji ku dengan ayah ku untuk selalu melindung ibu.. ” air mata
Takao makin deras menetes dari balik kelopak matanya. “...aku.. bodoh..”
“Takao. Jangan beranggap begitu.. kau tidak seperti itu.
Aku yakin bila ibu mu bangga saat melihat mu bermain basket saat pertandingan
lalu nanodayo..”
“Bangga? Untuk apa dia bangga ha? Dia bahkan melarangku
bermain basket lagi..” Takao mengelap air matanya dan mengeluarkan senyuman
aneh dari wajahnya layaknya bukan Takao. Membuat Midorima terkejut “Sebenarnya
aku juga bingung mengapa aku menangis... seharusnya aku bersyukur karena dia
telah..”
Omongan Takao terhenti setelah Midorima memukulnya dengan
keras hingga ia tersungkur. Midorima sangat kesal dengan omongan Takao yang
memang terkesan kurang ajar dan melebihi sifatnya itu. Ia menarik kerah baju
Takao.
“Aku harap kau menarik kembali ucapan mu yang kurang ajar
itu nanodayo. KALAU KAU TIDAK BISA MENJAGA MULUT BRENGSEK MU ITU KAU
BENAR-BENAR AKAN KU HAJAR HABIS-HABISAN!!! KAU TIDAK MENGERTI, APA YANG KAU
KATAKAN AKAN DI DENGAR IBU MU DI SANA HAH?!!!”
Takao hanya terdiam tanpa kata. Tapi, kemudian ia
mengeluarkan kata-kata pertamanya setelah mendengar Midorima berbicara seperti
itu kepadanya.
“Kau tidak mengerti apa masalah ku.” Takao dengan cepat
melepaskan tangan Midorima dari kerah bajunya. “Dia tidak akan pernah mendengar
kata-kata ku lagi. Dia sudah mati. Dia juga tidak pernah bangga dengan ku.”
Takao pun melangkah kan kakinya kedepan dan terlihat akan meninggalkan Midorima
yang masih terpaku setelah mendengar kata-kata Takao. “Jangan mencampuri urusan
ku lagi. Selamat tinggal.” Demikian lah yang Takao katakan sebelum ia pergi.
Membuat Takao hanya terdiam di tempat tanpa tau apa yang akan dia lakukan pada
Takao atau dia katakan.
--
Keesokan harinya pada saat latihan tim bola basket
Shutoku. Hari berasa sepi tanpa kehadiran Takao. Dia masih tidak bisa masuk
sekolah. meskipun begitu mereka tetap melanjutkan latihan tim mereka walaupun
hanya sebentar. Jika biasanya hingga sore hampir malam, kali ini hanya sekitar
satu jam.
Setelah latihan usai, Midorima pergi menuju mesin penjual
minuman otomatis sambil membawa lucky itemnya yaitu, boneka beruang gantungan
kunci. Rasanya memang sepi tanpa adanya Takao. Biasanya dia yang selalu berisik
kesana-kemari saat berada disamping Midorima.
Midorima seperti biasanya membeli sup kacang merah
dingin. Kemudian langsung membukanya dan menyeruputnya disana.
“Midorima-san?” seseorang perempuan menepuk pundak
Midorima membuatnya menghentikan seruputan minumnya. Ternyata Otsubo Tae. Adik
dari Otsubo-senpai yang baru saja pindah kesini menjadi manajer.
“Ternyata kau.. ada apa nanodayo?”
“Ano.. bisakah kita berbicara sebentar?”
Mereka pun duduk di bangku yang berada tidak jauh dari
taman sekolah. kebetulan juga di sana tidak begitu banyak anak yang
berjalan-jalan kesana-kemari. Dan suasana juga sepi karena hampir semua murid
masih melakukan kegiatan tim di dalam kelas mereka masing-masing.
“Ada apa kau memanggilku nanodayo?” tanya Midorima.
“Etto.. aku ingin bertanya, apa kah Takao-san baik-baik
saja?”
“Dia.. iya..” Midorima teringat akan apa yang terjadi
padanya dan Takao kemarin. Ia sadar jika apa yang ia lakukan makin membuat
Takao depresi waktu itu. Jujur, ia mulai khawatir dengan Takao.
“Baguslah kalau begitu, jika ia tidak apa-apa” kemudian
Tae berdiri dari bangku taman. “Kalau begitu sampaikan salam ku kepadanya ya.”
Katanya kemudian pergi mendahului Midorima.
Kali ini Midorima merasa jika dirinya harus meminta maaf
kepada Takao secepatnya sebelum terlambat. Ia takut jika Takao depresi dan
tidak mau mendengarkan semua orang yang berada di dekatnya. Apalagi sampai hal
yang lebih berbahaya lagi...
--
Latihan tim basket pun berakhir. Midorima bergegas
mengganti bajunya dan membawa tasnya. Ia bergegas pergi dan menuju ke rumah
Takao untuk meminta maaf dan menyampaikan salam dari adik Otsubo-san. Memang
belakangan ini sepertinya Tae dan Takao lebih dekat dari sebelumnya.
Di perjalanan, sinar matahari senja menyorot dari barat
ke timur. Membuat warna merah orange di sepanjang langit. Hari ini cerah dan
sedikit berangin. Membuat Midorima sesekali membenarkan syalnya yang tertiup
angin.
“Midorima...” seseorang memanggil Midorima dari belakang.
Seseorang yang sepertinya midorima kenal.
Midorima pun membalik kan badannya dan melihat siapa
orang yang tadi memanggilnya dan menghentikan jalannya. “Akashi?”
Itu memang Akashi. Dilihat dari rambut dan mata merahnya.
Dan juga seragam itu, sudah pasti itu seragam Rakuzan.
“Apa yang kau lakukan di sini?”
“Aku dengar Ibu Takao Kazunari meninggal dunia? Aku turut
berduka atas itu.”
“Apa hanya itu kau jauh-jauh datang kemari?”
“Aku ingin menyampaikan bela sungkawa ku kepadanya. Tapi
bisakah kau saja yang menyampaikannya?”
“Baiklah akan aku sampaikan nanodayo.”
“Satu hal lagi sebelum aku pergi”
“Apa itu? nanodayo”
“Jika kau medapatkan masalah, tenangkan dirimu di ladang
bunga Matahari..”
“Hah?”
Midorima terbingung. Tau dari mana Akashi soal ladang
bunga Matahari. Dan juga apa maksudnya.
“Kurasa hanya itu saja. Sampai jumpa lagi Midorima”
Kemudian Akashi pergi. Midorima masih berusaha mencerna kata-kata Akashi
barusan. Apa memang Akashi tau soal ladang bunga Matahari itu. Ya, mungkin ini
akan selamanya menjadi misteri di dalam kepala Midorima.
--
Midorima sampai di depan rumah Takao. Sepertinya tidak
ada orang di sana. Rumahnya terlihat sepi dari luar. Midorima pun mendekati
pintu kayu rumah Takao. Sepertinya tidak di kunci. Ia memutar ganggang pintu
itu, dan itu memang tidak di kunci.
“Permisi?” Midorima mencoba memanggil seseorang di dalam.
Namun sepertinya tidak ada siapa-siapa. Ia pun melangkahkan kakinya masuk
kedalam rumah. “Aku masuk ya?”
Ia melihat ke dapur, tapi tetap saja tidak ada orang.
Ruang tamu, tidak ada juga. Kamar mandi juga kosong. Ruang keluarga juga masih
terlihat rapi dan seperti tidak tersentuh oleh siapa pun. Ia memilih untuk
melihat ke kamar Takao yang berada di lantai dua.
Perlahan tapi pasti, Midorima membuka pintu kamar kayu
itu. Matanya pun langsung melihat kesegala arah. Kanan kiri ia lihat. Tapi
sepertinya tidak ada seseorang. Ia pun memilih untuk menutup pintu. Tapi,
Midorima tersadar oleh sesuatu ketika ia melihat kebawah. Takao tergeletak di lantai dengan luka di
pergelangan tangan kanannya dan darah segar terus keluar dari aliran nadinya.
“Takao!!” Midorima pun mendekatkan telinganya ke mulut
Takao untuk mengecek apa kah ia masih bernapas. Jawabannya iya, tapi ia
bernapas sangat lah pelan dan wajahnya juga semakin pucat. Di situasi seperti
ini, Midorima merasa jika ia lah yang bersalah dan yang seharusnya bertanggung
jawab seperti ini. Ia yang seharusnya menenangkan Takao, tapi malah membuatnya
hancur kemarin.
--bersambung—
Tidak ada komentar:
Posting Komentar