Jumat, 29 Juli 2016

KNB Fanfiction : Himawari no Yakusoku eps 7


-eps 7 – Surat Misterius –

Midorima menunggu Takao dan terduduk di kursi sebelah ranjang Takao. Tidak ada siapa pun disana, hanya ia dan suara mesin ukur detak jatung. Ia masih tidak bisa memberitahukan hal ini kepada nenek ataupun sanak saudara Takao yang lain. ia takut jika mereka shock ataupun panik mendengar hal ini. Ia sadar bahwa ia seharusnya tidak sepanik ini, tapi Takao baru saja kehilangan orang yang sangat ia cintainya.

Perlahan mata Takao bergerak. Kelopak matanya mulai terbuka meskipun masih terbuka setengah.

“Takao?” Midorima melihat jelas hal itu, ia merasa lega sekarang.

“Shin-chan?” jawab Takao dengan lemas. Ia mencoba untuk bangun dari baringannya. Midorima yang melihat hal ini langsung berusaha berjaga-jaga karena tubuh Takao masih lemas dan butuh istirahat. Tak seharusnya ia bangun dari baringannya sekarang. Namun, ia terlihat memaksakan dirinya.

Takao melihat ke tangan kanannya yang di perban. Ia kemudian teringat kejadian tadi saat ia berusaha melukai pergelangan tangannya.

“Hh.. kenapa kau menyelamatkan ku?”

Midorima terkejut mendengar perkataan itu dari mulut Takao. “Apa yang kau katakan Takao?”

“Kau bahkan meninggalkan logat bodoh mu itu ha? Apa itu karena kau khawatir pada ku?” kata Takao dengan sedikit mengejek. Tangan Takao pun mulai merabah infus di tangan kirinya. Ia berniat untuk mencabut infusnya. Midorima yang melihat ini langsung dengan cepat menarik tangan Takao.

“Apa yang ingin kau lakukan?!!”

“Lepaskan aku!!!”

“Tindakan bodoh apa yang membuat mu jadi seperti ini naodayo?!!! APA KAU SADAR BANYAK ORANG YANG MASIH MEMBUTUHKAN MU DI SINI !!!”

Seketika, Takao pun terdiam seolah-olah membeku.

“Miyaji-san, Kimura-san, dan juga Otsubo-san! Mereka masih membutuhkan mu!! Bahkan seluruh tim pun membutuhkan mu nanodayo!!”

Perlahan air mata Takao mulai menetes dan membasahi pipinya menuju dagunya.

“Aku... aku telah melanggar janji ayah ku...” Takao pun menundukkan kepalanya di hadapan Midorima. “...Aku telah membuat ibu ku kecewa bahkan sebelum ia pergi.. untuk selamanya... aku tidak bisa meminta maaf lagi kepadanya...”

“Takao...” Midorima pun sedikit tersentak saat Takao dengan tiba-tiba memeluknya.

“Maaf..” perkataan Takao tersedu-sedu karena tangisannya. “Maaf.. Shin-chan..”

Midorima pun membalasnya dengan memeluknya balik. “Aku juga minta maaf... Takao”

Mereka berdua pun kembali akrab lagi. Bahkan Takao sudah bisa bercanda sore itu. Midorima mengeluarkan senyumannya. Ia tidak pernah merasa sebahagia ini sebelumnya. Padahal sebelumnya ia tidak pernah tersenyum walaupun Takao bercanda dengannya.

--

“Takao, kalau begitu aku pulang dulu nanodayo. Hari sudah malam, Ibu akan mengkhawatirkan ku nanti. Aku sudah menelphone nenek mu jadi tunggu beberapa saat, mungkin sekitar tiga puluh menit lagi sampai nanodayo.” Midorima bersiap membawa tasnya dan gantungan kunci lucky itemnya.

“Hah? Kau akan pulang? Padahal kau baru saja sampai di sini kan?”

“Aku sudah di sini selama tiga jam nanodayo. Jika kau saja tidak bertindak kelewatan seperti tadi!!”

“Hehe.. maaf.”

“Jangan minta maaf dengan wajah polos mu itu nanodayo!!” Midorima semakin kesal ketika melihat Takao meminta maaf dengan wajahnya yang polos itu. “Kalau begitu aku pulang dulu nanodayo” Midorima membuka pintu kamar itu.

“Iya, hati-hati ya”

“Jaga dirimu Takao..” kata Midorima kemudian bergegas menutup kembali pintu. Takao terkejut mendengar kata itu dari Midorima. Ini pertama kalinya Midorima berkata seperti itu. Membuat Takao sedikit tertawa di atas kasurnya.

“Haha.. dasar Shin-chan bodoh..”

--

Sepanjang perjalanan pulang di dalam bus kota, Midorima hanya memikirkan kejadian hari ini. Terlebih lagi Takao. Ia tidak menyangka jika Takao bisa pulih secepat itu. Meskipun begitu, ia masih khawatir dengan Takao karena kejadian tadi siang.

Setelah sekitar satu jam perjalanan, Midorima pun sampai di halte tujuannya. Ia turun di sana lalu berjalan pulang. Rumahnya tidak begitu jauh dengan jalan kota. Tapi dari halte lumayan jauh.

Setelah limabelas menit berjalan, Midorima akhirnya sampai di depan rumahnya. Ia mengetuk pintu kayunya yang besar kemudian membukanya.

“Aku pulang..”

“Selamat datang Shintarou..” sahut Ibu yang sedang menonton TV di ruang keluarga. “Kau lama?”

“Maaf aku lama, tadi teman ku...” Midorima sadar jika kata-katanya nanti bisa membuat ibunya terkejut dan pasti akan bertanya-tanya.

“He.. ada apa?”

“O..ouhm.. tidak apa nanodayo, tadi aku hanya mampir ke rumah Takao”

“Oh.. Takao-kun ya?” Ibu pun berdiri dari sofa dan menghampiri Midorima. “Kau dan Takao-kun rupanya sangat cocok ya? Tidak heran mereka memasangkan mu dengan Takao-kun saat bermain basket..”

“Ti..tidak begitu nanodayo..”

“Tapi kali ini kau harus lebih sering memperhatikannya..”

“Kenapa?”

“Ibu Takao sudah tiada dan dia tinggal sendiri sekarang.. dia juga masih SMA dan mungkin juga belum bisa menjaga dirinya sendiri. Jadi dia butuh teman seperti mu”

Midorima termenung “begitu ya..”

“O..iya, tadi ada seseorang yang memberikan surat kepada mu.”

“Surat?”

“Iya, seorang laki-laki tua. Ia memakai jubah sehingga aku tidak begitu mengenalinya. Suratnya belum aku baca tapi sudah aku taruh di meja mu.”

“Akan kulihat surat dari siapa itu nanodayo” Midorima pun menaiki tangga menuju kamarnya yang ada di lantai dua.

Ia membuka pintu kamarnya. Semua masih tertata rapi. Selimut yang terlipat rapi layaknya di hotel. Buku-buku di dalam rak buku yang tersusun rapi. Grand Piano yang tertutup. Dan juga boneka bekas-bekas lucky itemnya. Kamar yang cukup rapi, untuk sebuah kamar laki-laki.

Midorima melihat sepucuk surat itu di atas meja belajarnya. Surat berwarna putih dan nama yang tidak di tulis dengan benar sehingga menjadi sulit membacanya. Perlahan isi surat itu dibacanya.

‘Kepada Midorima Shintaro.

Terimakasih telah membuat Kazunari bahagia dan ceria kembali.
Pada awalnya aku tidak menyangka bahwa ia akan pulih secepat ini.
Tapi karena bantuan mu, dia jadi bahagia kembali. Padahal dia dulu itu cengeng sekali.
Maaf jika aku hanya bisa mengirimkan mu surat ini. Satu lagi, sekarang nyawa Kazunari dilindungi oleh ladang bunga Matahari yang sering ia datangi. Jadi tenang saja, selama ladang itu masih ada, Kazunari akan baik-baik saja.’

Midorima agak bingung dengan maksud terakhir isi surat ini. Ia bingung siapa yang mengirimnya. Kenapa ia bisa tau tentang Takao dan ladang bunga Matahari itu. Dan juga kenapa ia memanggil Takao dengan nama kecilnya.

‘Aku rasa sudah cukup sampai di sini. Satu permintaan lagi, tolong jaga Kazunari. Aku mempercayakan pada mu nak...’

Sekian dari surat itu. Midorima masih bingung dengan maksud dan siapa orang yang menulis surat ini. Kanji di dalam nama itu tidak tertulis dengan benar dan acak-acakan, jadi ia tidak bisa membacanya.

--bersambung—

Sabtu, 07 Mei 2016

KNB Fanfiction : Himawari no Yakusoku eps 6


eps6- Maaf –

Takao langsung berlari meninggalkan nenek dan Midorima menuju dalam kamar. Midorima tidak bisa mencegah Takao saat ini. Ia tidak bisa begitu saja menghentikan seseorang yang telah kehilangan orang yang sangat dicintainya.

“Midorima Shintaro?” panggil nenek Takao membuat Midorima mengangkat kepalanya dari tundukan berdukanya.

“Iya?”

“Kau adalah orang yang selalu diceritakan Kazunari. Kau itu anak yang baik dan disiplin dan aku percaya itu. Kau juga anak yang ramah seperti yang Kazunari katakan...”

Midorima berpikir setelah mendengar kata-kata itu dari nenek Takao. Takao masih menganggapnya ramah? Padahal ia sering menyuruhnya untuk mengayuhkan sepeda untuknya. Tapi Takao masih menganggapnya ramah?
Tanpa berkata apa-apa, Midorima hanya bisa menatap nenek Takao dengan dalam.

“Tolong jaga Takao...” itu kata-kata terakhir yang diucapkan nenek Takao sebelum ia pergi kedalam kamar lagi.

Midorima hanya bisa terdiam. Beberapa air mata mulai menetes dari matanya. Ia tidak menyangka jika ia sekejam ini terhadap Takao. Bahkan Takao hanya menceritakan kebaikan Midorima saja. Ia tidak pernah mengeluh terhadapnya.

--

Malam ini terasa seperti mendung meskipun hari ini hampir tidak ada awan sedikit pun. Di dalam ruang pemakaman, di sanalah Takao dan Midorima masih terdiam. Kali ini yang tersisa hanya mereka berdua. Takao terus duduk berdiam diri di depan altar ibunya yang di penuhi bunga dan ada satu foto di atas bunga-bunga itu. Ia masih tidak percaya jika hal ini terjadi.

Midorima pun mencoba untuk memberanikan dirinya berbicara kepada Takao.

“Takao... aku tau apa yang kau rasakan nanodayo... tapi, kau harus pulang, banyak orang yang menunggu mu di rumah”

“...Ini tidak seperti yang kau bayangkan. Aku telah mengingkari janji ku dengan ayah ku untuk selalu melindung ibu.. ” air mata Takao makin deras menetes dari balik kelopak matanya. “...aku.. bodoh..”

“Takao. Jangan beranggap begitu.. kau tidak seperti itu. Aku yakin bila ibu mu bangga saat melihat mu bermain basket saat pertandingan lalu nanodayo..”

“Bangga? Untuk apa dia bangga ha? Dia bahkan melarangku bermain basket lagi..” Takao mengelap air matanya dan mengeluarkan senyuman aneh dari wajahnya layaknya bukan Takao. Membuat Midorima terkejut “Sebenarnya aku juga bingung mengapa aku menangis... seharusnya aku bersyukur karena dia telah..”

Omongan Takao terhenti setelah Midorima memukulnya dengan keras hingga ia tersungkur. Midorima sangat kesal dengan omongan Takao yang memang terkesan kurang ajar dan melebihi sifatnya itu. Ia menarik kerah baju Takao.

“Aku harap kau menarik kembali ucapan mu yang kurang ajar itu nanodayo. KALAU KAU TIDAK BISA MENJAGA MULUT BRENGSEK MU ITU KAU BENAR-BENAR AKAN KU HAJAR HABIS-HABISAN!!! KAU TIDAK MENGERTI, APA YANG KAU KATAKAN AKAN DI DENGAR IBU MU DI SANA HAH?!!!”

Takao hanya terdiam tanpa kata. Tapi, kemudian ia mengeluarkan kata-kata pertamanya setelah mendengar Midorima berbicara seperti itu kepadanya.

“Kau tidak mengerti apa masalah ku.” Takao dengan cepat melepaskan tangan Midorima dari kerah bajunya. “Dia tidak akan pernah mendengar kata-kata ku lagi. Dia sudah mati. Dia juga tidak pernah bangga dengan ku.” Takao pun melangkah kan kakinya kedepan dan terlihat akan meninggalkan Midorima yang masih terpaku setelah mendengar kata-kata Takao. “Jangan mencampuri urusan ku lagi. Selamat tinggal.” Demikian lah yang Takao katakan sebelum ia pergi. Membuat Takao hanya terdiam di tempat tanpa tau apa yang akan dia lakukan pada Takao atau dia katakan.

--

Keesokan harinya pada saat latihan tim bola basket Shutoku. Hari berasa sepi tanpa kehadiran Takao. Dia masih tidak bisa masuk sekolah. meskipun begitu mereka tetap melanjutkan latihan tim mereka walaupun hanya sebentar. Jika biasanya hingga sore hampir malam, kali ini hanya sekitar satu jam.

Setelah latihan usai, Midorima pergi menuju mesin penjual minuman otomatis sambil membawa lucky itemnya yaitu, boneka beruang gantungan kunci. Rasanya memang sepi tanpa adanya Takao. Biasanya dia yang selalu berisik kesana-kemari saat berada disamping Midorima.

Midorima seperti biasanya membeli sup kacang merah dingin. Kemudian langsung membukanya dan menyeruputnya disana.

“Midorima-san?” seseorang perempuan menepuk pundak Midorima membuatnya menghentikan seruputan minumnya. Ternyata Otsubo Tae. Adik dari Otsubo-senpai yang baru saja pindah kesini menjadi manajer.

“Ternyata kau.. ada apa nanodayo?”

“Ano.. bisakah kita berbicara sebentar?”

Mereka pun duduk di bangku yang berada tidak jauh dari taman sekolah. kebetulan juga di sana tidak begitu banyak anak yang berjalan-jalan kesana-kemari. Dan suasana juga sepi karena hampir semua murid masih melakukan kegiatan tim di dalam kelas mereka masing-masing.

“Ada apa kau memanggilku nanodayo?” tanya Midorima.

“Etto.. aku ingin bertanya, apa kah Takao-san baik-baik saja?”

“Dia.. iya..” Midorima teringat akan apa yang terjadi padanya dan Takao kemarin. Ia sadar jika apa yang ia lakukan makin membuat Takao depresi waktu itu. Jujur, ia mulai khawatir dengan Takao.

“Baguslah kalau begitu, jika ia tidak apa-apa” kemudian Tae berdiri dari bangku taman. “Kalau begitu sampaikan salam ku kepadanya ya.” Katanya kemudian pergi mendahului Midorima.

Kali ini Midorima merasa jika dirinya harus meminta maaf kepada Takao secepatnya sebelum terlambat. Ia takut jika Takao depresi dan tidak mau mendengarkan semua orang yang berada di dekatnya. Apalagi sampai hal yang lebih berbahaya lagi...

--

Latihan tim basket pun berakhir. Midorima bergegas mengganti bajunya dan membawa tasnya. Ia bergegas pergi dan menuju ke rumah Takao untuk meminta maaf dan menyampaikan salam dari adik Otsubo-san. Memang belakangan ini sepertinya Tae dan Takao lebih dekat dari sebelumnya.

Di perjalanan, sinar matahari senja menyorot dari barat ke timur. Membuat warna merah orange di sepanjang langit. Hari ini cerah dan sedikit berangin. Membuat Midorima sesekali membenarkan syalnya yang tertiup angin.

“Midorima...” seseorang memanggil Midorima dari belakang. Seseorang yang sepertinya midorima kenal.

Midorima pun membalik kan badannya dan melihat siapa orang yang tadi memanggilnya dan menghentikan jalannya. “Akashi?”

Itu memang Akashi. Dilihat dari rambut dan mata merahnya. Dan juga seragam itu, sudah pasti itu seragam Rakuzan.

“Apa yang kau lakukan di sini?”

“Aku dengar Ibu Takao Kazunari meninggal dunia? Aku turut berduka atas itu.”

“Apa hanya itu kau jauh-jauh datang kemari?”

“Aku ingin menyampaikan bela sungkawa ku kepadanya. Tapi bisakah kau saja yang menyampaikannya?”

“Baiklah akan aku sampaikan nanodayo.”

“Satu hal lagi sebelum aku pergi”

“Apa itu? nanodayo”

“Jika kau medapatkan masalah, tenangkan dirimu di ladang bunga Matahari..”

“Hah?”

Midorima terbingung. Tau dari mana Akashi soal ladang bunga Matahari. Dan juga apa maksudnya.

“Kurasa hanya itu saja. Sampai jumpa lagi Midorima” Kemudian Akashi pergi. Midorima masih berusaha mencerna kata-kata Akashi barusan. Apa memang Akashi tau soal ladang bunga Matahari itu. Ya, mungkin ini akan selamanya menjadi misteri di dalam kepala Midorima.

--

Midorima sampai di depan rumah Takao. Sepertinya tidak ada orang di sana. Rumahnya terlihat sepi dari luar. Midorima pun mendekati pintu kayu rumah Takao. Sepertinya tidak di kunci. Ia memutar ganggang pintu itu, dan itu memang tidak di kunci.

“Permisi?” Midorima mencoba memanggil seseorang di dalam. Namun sepertinya tidak ada siapa-siapa. Ia pun melangkahkan kakinya masuk kedalam rumah. “Aku masuk ya?”

Ia melihat ke dapur, tapi tetap saja tidak ada orang. Ruang tamu, tidak ada juga. Kamar mandi juga kosong. Ruang keluarga juga masih terlihat rapi dan seperti tidak tersentuh oleh siapa pun. Ia memilih untuk melihat ke kamar Takao yang berada di lantai dua.

Perlahan tapi pasti, Midorima membuka pintu kamar kayu itu. Matanya pun langsung melihat kesegala arah. Kanan kiri ia lihat. Tapi sepertinya tidak ada seseorang. Ia pun memilih untuk menutup pintu. Tapi, Midorima tersadar oleh sesuatu ketika ia melihat kebawah.  Takao tergeletak di lantai dengan luka di pergelangan tangan kanannya dan darah segar terus keluar dari aliran nadinya.

“Takao!!” Midorima pun mendekatkan telinganya ke mulut Takao untuk mengecek apa kah ia masih bernapas. Jawabannya iya, tapi ia bernapas sangat lah pelan dan wajahnya juga semakin pucat. Di situasi seperti ini, Midorima merasa jika ia lah yang bersalah dan yang seharusnya bertanggung jawab seperti ini. Ia yang seharusnya menenangkan Takao, tapi malah membuatnya hancur kemarin.

--bersambung—

KNB Fanfiction : Himawari no yakusoku (MidoTaka) eps 5







Prolog:

Sebuah sentuhan angin yang lembut membuat ku sedikit kedinginan. Di bawah pohon besar ini aku merasa sedikit hangat. Pohon besar rindang di tengah padang rumput seluas ini. Namun, saat aku hendak membaringkan tubuh ku di bawahnya, tiba-tiba salah satu daun gugur ke atas wajah ku dengan lembut. Sepertinya memang benar, musim dingin sebentar lagi.

-eps5- Minggu yang kelam-

“Tunggu, kenapa? Kenapa seperti itu?! kau hebat dalam bermain basket, dan ibu mu. Bukan kah ibu mu selalu berharab jika kemampuan basket mu bisa melebihi ayah mu?” sifat Midorima berubah setelah mendengar kalimat dari Takao barusan.

“Dia bilang ia takut jika hal yang sama menimpa ku... ”

“Kau menjawab apa?”

“Aku belum memberikan jawaban, tapi aku akan memberikannya besok.. aku masih bingung ingin menjawab apa. Jika aku berhenti, aku tidak akan pernah menghabiskan waktu bersama teman-teman ku lagi. Tidak akan ada pertandingan yang membuat ku selalu bersemangat. Dan mungkin,.. hidup ku tidak akan berwarna lagi..”

Midorima terdiam melihat ekspresi Takao yang menunjukan wajah kesal tidak terimanya itu. Matanya yang berkaca-kaca juga menandakan bahwa ia memang benar-benar kesal, apalagi ibunya sendiri yang menyuruhnya berhenti. Mungkin Midorima tidak begitu tau bagaimana keluarga Takao, tapi ia tau jika Takao memang tidak terima dengan ini semua.

“Jika kau memang tidak tau apa yang harus kau katakan kepada ibu mu, kenapa kau tidak bilang yang sebenarnya saja.”

“Aku.. aku tidak bisa, jika aku katakan yang sebenarnya, ia akan tetap menyuruhku untuk keluar dari basket...”

“Tidak ada orang tua yang seperti itu di dunia ini..” kata-kata Midorima membuat Takao mengangkat kepalanya dan melihat langsung kewajah Midorima. “Aku yakin ibu mu pasti akan mengerti”

Takao terdiam sambil mengusap pipinya yang basah karena air matanya yang menetes tadi. Ia perlahan memunculkan senyumannya.

“Kau benar Shin-chan, aku yakin ibu pasti akan mengerti jika aku lebih terbuka dengannya..” kata Takao tersenyum bahagia “Terimakasih..”

Midorima membenarkan kacamatanya. “Jangan salah sangka, aku melakukannya hanya karena kau masih di butuh kan dalam tim nanodayo..” kemudian Midorima langsung berbaring dan menarik selimutnya.

“Benarkah?..  tapi sepertinya bukan begitu..” kata Takao yang megerti betul sifat Midorima yang pemalu.

--

Sinar matahari pagi memancar dari balik tirai di jendela kamar Takao. Tidak di sangka jika Midorima benar-benar tidur nyenyak di kamar Takao. Ia pun melepas topi tidurnya dan memakai kacamatanya. Ia baru tersadar jika Takao sudah tidak ada di atas futon yang ada di atas lantai.

“Takao?..” Midorima pun berdiri dari kasur yang ia tiduri sepanjang malam ini. Sesekali ia meregangkan tubuhnya.

Ia menuruni tangga menuju lantai satu. Di saat ia menuju lantai satu, ada bau enak tercium dari dapur. Rupanya itu Takao yang sedang memasak sarapan. Midorima pun menghampiri Takao yang sedang memasak.

Perlahan dan berusaha tidak mengeluarkan suara, Midorima melangkah.

“Kau sudah bangun Shin-chan?”

“Bagaimana kau tau ini aku nanodayo?”

“Haha, itu pertanyaan bodoh, dirumah ini hanya ada kau dan aku... dan mana mungkin aku lupa jika kau menginap di sini”

“Hh.. ” Midorima melihat dan baru tersadar bahwa makanan yang di masak Takao sangatlah banyak. Mulai dari Sushi, Katsu, Ebi Katsu, hingga Okonomiyaki. Tidak pernah sebelumnya ia melihat makanan sebanyak ini dalam satu ruangan kecuali saat di restaurant. “Makanan sebanyak itu untuk apa?”

“Ini? Yang bagian ini untuk sarapan dan yang bagian ini untuk menjenguk ibu ku”

“Kau akan menjenguk ibu mu?”

“Iya, dan aku juga ingin kau mengantar kan ku kesana,”

“Kenapa harus aku nanodayo?”

“Karena jika tidak ada yang mengantarkan rasanya akan sangat sepi sekali. Dan juga, kau sudah menginap dirumah ini kan?” kata Takao sambil mengeluarkan senyuman aneh pada Midorima. Membuat Midorima juga merasakan hal yang aneh.

“Baiklah kalau kau memaksa ku nanodayo..”

“Aku kan tidak memaksa... aku hanya mengajak mu haha, itu berarti kau memang mau kan hahaha!” kata Takao sambil memegangi perutnya yang sakit karena tertawa.

“Berisik nanodayo.. sudahlah aku mau mencuci muka ku dulu!” kemudian Midorima berlalu dari dapur.

“Tunggu Shin-chan! Kamar mandinya bukan di sebelah kana....”

Gubrak!!

Suara benda jatuh membuat Takao terkejut dan menghentikan masaknya. Ia bergegas keluar dapur dan melihat Midorima. Ia melihat Midorima yang sudah terkubur perabotan rumah tangga dari kayu dan juga besi. Rupanya yang Midorima buka adalah lemari. Sedangkan kamar mandinya ada di depan lemari.

“PfftBWAHAHAHA!!! AKU SUDAH BILANG PADAMU!!HAHA!!”

“Jangan tertawa nanodayo!!”

--

Hari ini, adalah hari Minggu. Di kota banyak pejalan kaki. Mereka hendak pergi untuk berjalan-jalan sejenak, atau berbelanja.

Midorima dan Takao terlihat menunggu bus di halte pinggir jalan. Takao membawa tasnya yang berisi banyak sekali makanan. Sedangkan Midorima membawa Tas dan juga lucky item hari ini berupa boneka beruang tedy memakai topi.

“Aku tidak percaya kau membawa semua lucky item mu di tas” kata Takao dengan heran.

“Sudah kau diam saja nanodayo. Aku harus bersiap-siap untuk membawa lucky item apa hari ini.. aku tidak mau mendapat kesialan nanodayo..” kata Midorima sambil membenarkan kacamatanya.

“Kesialan ya?...” kemudian Takao melihat dua orang yang berada sekitar beberapa meter dari mereka memasuki rumah makan. Seseorang yang nampaknya ia kenal jelas. “Bukannya itu Kagami dan.. Momoi..”

Kemudian Midorima menoleh. Itu memang mereka. “Itu mereka nanodayo” kata Midorima dengan kesal mengingat kejadian yang selalu ia lalui ketika ada Kagami.

“Haha.. aku baru sadar kalau mereka akhirnya pacaran juga, terakhir aku dengar, Momoi memanggilnya Taiga-chan ya? Hahaha! O .. iya ayo kita dekati mereka.”

“Lebih baik jangan nanodayo..” cegah Midorima.

“Hah?”

“Aku tidak ingin berurusan dengan mereka, lagi pula, busnya datang”

Kemudian bus itu benar-benar datang.

“Kau benar, ayo..”

Kemudian Midorima dan Takao memasuki bus itu dan segera menduduki kursi yang masih kosong. Kebetulan, bus kota sedang sepi-sepinya. Ya, karena ini masih pagi dan belum banyak orang yang menggunakan angkutan umum. Dengan begitu mereka bisa lebih leluasa lagi memilih kursi.

Takao duduk di sebelah jendela. Sedangkan Midorima memilih untuk duduk di bangku luar. Takao terlihat menikmati pemandangan yang dilihatnya di dekat jendela. Meskipun hanya toko, warung makan, dan berbagai gedung saja yang ia lihat. Tapi, ia terlihat menikmatinya seperti anak kecil.

“Oiy!” Midorima memanggil Takao karena merasa sedikit terganggu dengan tingkah kekanak-kanakan Takao.

“Ada apa Shin-chan?”

“Tingkah mu itu kekanak-kanakan sekali nanodayo, kalau boleh jujur, itu sedikit mengganggu ku”

“Hah? Kau merasa terganggu? Berlebihan sekali..” ejek Takao dengan senyumannya.

“Terserah apa katamu nanodayo..”

“Aku hanya mengingat saat aku berada di bus ini pada saat aku masih kecil, bersama ayah dan ibu ku. Aku tidak bisa melupakan hal itu, menyenangkan...” kata Takao kemudian terdiam da melihat kembali keluar jendela.

Kali ini Midorima memilih untuk membiarkan Takao seperti itu. Mengingat bahwa ia sendiri tidak pernah mengalami hal menyenangkan pada saat masa kecilnya. Pernah sekali ia merasa bahagia karena bermain dengan salah satu teman masa kecilnya. Namun...

“Oiy Shin-chan, kita sudah sampai.” Lagi-lagi, panggilan tiba-tiba dari Takao membuat Midorima tersadar dari lamunannya.

“O.. iya,” kemudian Midorima bergegas berdiri dari bangkunya. Diikuti dengan Takao.

--

Mereka berdua pun memasuki rumah sakit. Tidak begitu banyak orang yang terlihat, tidak seperti biasanya. Mungkin hanya beberapa orang saja yang melintas. Ada seorang anak perempuan yang mendorongkan kursi roda ayahnya. Ada juga seorang anak yang menyuapi ibunya yang ada di atas kursi roda.

Setelah berbicara dengan seorang suster di depan meja akutansi, akhirnya mereka bisa menuju kamar dimana Ibu Takao dirawat. Suster itu mengantarkan mereka berdua.

Setelah beberapa menit berjalan mereka pun sampai. Ruangan lantai tiga nomor 180, dengan nama keluarga Takao. Berada di depan ruangan itu saja sudah membuat Takao merasa gugup. Ia sepertinya tidak siap dengan apa yang akan di lakukannya. Ia takut jika peryataan yang dilontarkannya akan membuat ibunya kecewa.

“Huff...” Takao perlahan menghembuskan nafasnya dan berusaha tenang setenang-tenangnya.

“Bagaimana? Kau siap?” kata Midorima memastikan.

Takao mengangguk pelan tanda meng iya kan. Takao pun membuka pintu kayu itu dan segera masuk kemudian menutupnya kembali. Midorima memilih untuk menunggu di kursi tepat ada di depan ruangan itu.

--

Beberapa menit berlalu. Takao masih belum selesai berbicara dengan ibunya. Midorima masih tetap menunggu di kursi depan. Ia mulai merasa bosan dengan tatapannya yang mulai sayu.

Tiba-tiba, pintu ruangan ibu Takao terbuka. Takao terlihat seperti merasa sangat kesal. Melihat temannya berekspresi seperti itu, Midorima pun berdiri dan segera bertanya.

“Takao? Ada apa?”

“Tidak...” jawab Takao dengan nada kesalnya. “AKU TIDAK MAU BERBICARA DENGAN IBU LAGI!!!” kemudian Takao berlari dengan kencangnya.

“Takao!!”

“Kazunari!! Tunggu dulu!!” teriak salah satu nenek dari dalam ruangan yang kelihatannya nenek Takao.

Midorima pun mengejar Takao yang berlari kencang tanpa menghiraukan siapapun bahkan orang yang hampir ia tabrak “TAKAO!! TUNGGU!!!”

Takao pun terus berlari tanpa menghiraukan teriakan panggilan dari Midorima. Ia terus berlari dengan air matanya yang terus menetes itu. Berlari kencang tanpa tujuan yang jelas, itulah yang mungkin akan dilakukan orang-orang yang frustasi akan suatu hal yang tidak dapat ia terima.

--

Midorima terus mengejar Takao hingga jauh bahkan sampai meninggalkan kota. Di daerah perbukitan belakang kota. Ia mulai tahu kemana tujuan Takao.

Takao berlari menuju kebelakang bukit dan masuk kedalam hutan yang jalannya menurun. Sepertinya benar dugaan Midorima. Ladang bunga matahari itu tujuan Takao.

Takao terus berlari kedalam ladang bunga Matahari itu. Terus masuk lebih dalam lagi hingga tidak terlihat.

“Takao!...” kata Midorima dengan bingung mencari Takao. “Hhh... seharusnya aku sudah tau kalau ini terjadi nanodayo..” kata Midorima dengan kesalnya. Kemudian ia mencari-cari tempat yang dipenuhi rumput ditengah-tengah ladang bunga. Ia bisa dengan mudah mencari Takao, karena jejak Takao terlihat dari beberapa bunga Matahari yang agak miring akibat senggolan seseorang.

Kemudian Midorima melihat rerumputan yang mereka singgahi kemarin. “Takao..”

Namun Takao tidak menghiraukan Midorima. Ia tetap duduk sambil menekuk lututnya dan menutup matanya dengan lengan diatas lututnya. Midorima pun memilih untuk duduk di sebelah Takao.

“Takao?..”

“Shin-chan...” Takao tetap dalam posisi yang tadi “dia.. dia tetap melarang ku untuk bermain basket... bahkan ia tidak menghiraukan saat aku mengatakan bahwa teman-teman ku semua membutuhkan ku... aku tidak mau berbicara dengannya lagi..”

Kemudian Midorima teringat kembali akan sesuatu. Sesuatu saat ia masih kecil “Takao, jika kau berkata seperti itu, kau pasti akan menyesal suatu saat..”

“...?” Takao kemudian membuka matanya dan memperlihatkan wajahnya.

“Dulu, di saat aku masih kecil. Pertama kali aku menyukai basket. aku selalu melatih lemparan dan operan basket ku. Saat itu aku tidak memiliki teman, hanya adik ku saja yang aku miliki seorang. Ia adalah adik perempuan ku yang sangat aku sayangi.

Pada suatu siang di cuaca yang panas. Aku mengajak adik ku untuk bermain basket. ia berwajah sedikit pucat. Sebenarnya aku sudah memperingatkannya, tapi ia tidak mau dengar. Ia tetap bermain bersama ku.. namun saat aku mengoper bola kepadanya... dia pingsan. Aku merasa sangat bersalah atas kejadian itu. Ayah ku hanya marah-marah kepadaku. Memukuli ku dengan kayu hingga bahkan aku tidak sanggup menangis. Sedangkan ibu ku bersikeras untuk menghalangi niat ayah ku, namun ia tidak berhasil.

Saat aku mengunjung adik ku.. betapa terkejutnya aku saat mengetahui bahwa ia.. meninggal dunia..”

“...!” ekspresi Takao berubah ketika ia pertama kali melihat Midorima mengeluarkan air matanya.

“Ayah ku terus mencaci maki ku. Memukuli ku. Tapi saat ia berusaha memukul ku.. malah ibu ku yang terkena pukulan itu. Ia langsung ambruk dan pingsan. Aku pun berkata jika aku tidak akan mau lagi berbicara dengan Ayah. Di saat itu pula mata Ayah berubah. Pandangannya seperti seluruh dunia menghitam dan perlahan menjauhinya. Ia langsung keluar dan membawa mobilnya pergi entah kemana. Tapi saat ia baru saja berangkat... sebuah truk besar menghantam mobilnya..”

“Shin-chan...” Takao dengan tiba-tiba memeluk Midorima. “Aku mohon.. jangan diteruskan...” kata Takao dengan pipinya yang mulai basah akibat ia tak kuasa menahan tangis saat mendengar cerita dari masa lalu Midorima.

“Takao...” kata Midorima sambil mengusap matanya beberapa kali dan berusaha menghilangkan air matanya. Namun sepertinya itu sia-sia saja.

Sekarang Takao sadar. Bahwa ia mengingkari janji lamanya kepada Ayahnya. Padahal ia sudah berjanji di ladang bunga Matahari ini untuk menjaga ibunya dengan baik. Namun apa yang ia lakukan saat ini adalah memarahi ibunya sendiri. Ia memetik salah satu bunga sebagai tanda permintaan maafnya kepada ibunya.

--

Setelah mereka meninggalkan ladang bunga Matahari tersebut, mereka kembali ke kota. Cukup lama juga, bahkan sampai sore. Mereka pun tiba di rumah sakit umum Tokyo.

“Menurut mu apa yang akan ibu katakan saat aku memberikan bunga ini?”

“Entahlah nanodayo. Itu tergantung dari bagaimana cara mu memberikannya..”

Langkah mereka berhenti ketika melihat kamar ibu Takao di penuhi banyak orang. Nenek Takao terlihat muram dengan berdiri di depan pintu sendirian.

“Ada apa ini?!” kata Takao terkejut melihat ini. “Nenek ada apa?”

Nenek Takao dengan perlahan menoleh. Tatapannya semakin dalam ketika ia melihat Takao. “Kazunari ... Ibu mu...”

“Ada apa dengan ibu?!”

“Ibu mu...”

Entah apa yang dikatakan nenek Takao. Namun itu membuat Takao dan Midorima terkejut. Bahkan Takao sampai menjatuhkan bunga Mataharinya ke lantai.

--bersambung—


Prolog:

Sebuah sentuhan angin yang lembut membuat ku sedikit kedinginan. Di bawah pohon besar ini aku merasa sedikit hangat. Pohon besar rindang di tengah padang rumput seluas ini. Namun, saat aku hendak membaringkan tubuh ku di bawahnya, tiba-tiba salah satu daun gugur ke atas wajah ku dengan lembut. Sepertinya memang benar, musim dingin sebentar lagi.

-eps5- Minggu yang kelam-

“Tunggu, kenapa? Kenapa seperti itu?! kau hebat dalam bermain basket, dan ibu mu. Bukan kah ibu mu selalu berharab jika kemampuan basket mu bisa melebihi ayah mu?” sifat Midorima berubah setelah mendengar kalimat dari Takao barusan.

“Dia bilang ia takut jika hal yang sama menimpa ku... ”

“Kau menjawab apa?”

“Aku belum memberikan jawaban, tapi aku akan memberikannya besok.. aku masih bingung ingin menjawab apa. Jika aku berhenti, aku tidak akan pernah menghabiskan waktu bersama teman-teman ku lagi. Tidak akan ada pertandingan yang membuat ku selalu bersemangat. Dan mungkin,.. hidup ku tidak akan berwarna lagi..”

Midorima terdiam melihat ekspresi Takao yang menunjukan wajah kesal tidak terimanya itu. Matanya yang berkaca-kaca juga menandakan bahwa ia memang benar-benar kesal, apalagi ibunya sendiri yang menyuruhnya berhenti. Mungkin Midorima tidak begitu tau bagaimana keluarga Takao, tapi ia tau jika Takao memang tidak terima dengan ini semua.

“Jika kau memang tidak tau apa yang harus kau katakan kepada ibu mu, kenapa kau tidak bilang yang sebenarnya saja.”

“Aku.. aku tidak bisa, jika aku katakan yang sebenarnya, ia akan tetap menyuruhku untuk keluar dari basket...”

“Tidak ada orang tua yang seperti itu di dunia ini..” kata-kata Midorima membuat Takao mengangkat kepalanya dan melihat langsung kewajah Midorima. “Aku yakin ibu mu pasti akan mengerti”

Takao terdiam sambil mengusap pipinya yang basah karena air matanya yang menetes tadi. Ia perlahan memunculkan senyumannya.

“Kau benar Shin-chan, aku yakin ibu pasti akan mengerti jika aku lebih terbuka dengannya..” kata Takao tersenyum bahagia “Terimakasih..”

Midorima membenarkan kacamatanya. “Jangan salah sangka, aku melakukannya hanya karena kau masih di butuh kan dalam tim nanodayo..” kemudian Midorima langsung berbaring dan menarik selimutnya.

“Benarkah?..  tapi sepertinya bukan begitu..” kata Takao yang megerti betul sifat Midorima yang pemalu.

--

Sinar matahari pagi memancar dari balik tirai di jendela kamar Takao. Tidak di sangka jika Midorima benar-benar tidur nyenyak di kamar Takao. Ia pun melepas topi tidurnya dan memakai kacamatanya. Ia baru tersadar jika Takao sudah tidak ada di atas futon yang ada di atas lantai.

“Takao?..” Midorima pun berdiri dari kasur yang ia tiduri sepanjang malam ini. Sesekali ia meregangkan tubuhnya.

Ia menuruni tangga menuju lantai satu. Di saat ia menuju lantai satu, ada bau enak tercium dari dapur. Rupanya itu Takao yang sedang memasak sarapan. Midorima pun menghampiri Takao yang sedang memasak.

Perlahan dan berusaha tidak mengeluarkan suara, Midorima melangkah.

“Kau sudah bangun Shin-chan?”

“Bagaimana kau tau ini aku nanodayo?”

“Haha, itu pertanyaan bodoh, dirumah ini hanya ada kau dan aku... dan mana mungkin aku lupa jika kau menginap di sini”

“Hh.. ” Midorima melihat dan baru tersadar bahwa makanan yang di masak Takao sangatlah banyak. Mulai dari Sushi, Katsu, Ebi Katsu, hingga Okonomiyaki. Tidak pernah sebelumnya ia melihat makanan sebanyak ini dalam satu ruangan kecuali saat di restaurant. “Makanan sebanyak itu untuk apa?”

“Ini? Yang bagian ini untuk sarapan dan yang bagian ini untuk menjenguk ibu ku”

“Kau akan menjenguk ibu mu?”

“Iya, dan aku juga ingin kau mengantar kan ku kesana,”

“Kenapa harus aku nanodayo?”

“Karena jika tidak ada yang mengantarkan rasanya akan sangat sepi sekali. Dan juga, kau sudah menginap dirumah ini kan?” kata Takao sambil mengeluarkan senyuman aneh pada Midorima. Membuat Midorima juga merasakan hal yang aneh.

“Baiklah kalau kau memaksa ku nanodayo..”

“Aku kan tidak memaksa... aku hanya mengajak mu haha, itu berarti kau memang mau kan hahaha!” kata Takao sambil memegangi perutnya yang sakit karena tertawa.

“Berisik nanodayo.. sudahlah aku mau mencuci muka ku dulu!” kemudian Midorima berlalu dari dapur.

“Tunggu Shin-chan! Kamar mandinya bukan di sebelah kana....”

Gubrak!!

Suara benda jatuh membuat Takao terkejut dan menghentikan masaknya. Ia bergegas keluar dapur dan melihat Midorima. Ia melihat Midorima yang sudah terkubur perabotan rumah tangga dari kayu dan juga besi. Rupanya yang Midorima buka adalah lemari. Sedangkan kamar mandinya ada di depan lemari.

“PfftBWAHAHAHA!!! AKU SUDAH BILANG PADAMU!!HAHA!!”

“Jangan tertawa nanodayo!!”

--

Hari ini, adalah hari Minggu. Di kota banyak pejalan kaki. Mereka hendak pergi untuk berjalan-jalan sejenak, atau berbelanja.

Midorima dan Takao terlihat menunggu bus di halte pinggir jalan. Takao membawa tasnya yang berisi banyak sekali makanan. Sedangkan Midorima membawa Tas dan juga lucky item hari ini berupa boneka beruang tedy memakai topi.

“Aku tidak percaya kau membawa semua lucky item mu di tas” kata Takao dengan heran.

“Sudah kau diam saja nanodayo. Aku harus bersiap-siap untuk membawa lucky item apa hari ini.. aku tidak mau mendapat kesialan nanodayo..” kata Midorima sambil membenarkan kacamatanya.

“Kesialan ya?...” kemudian Takao melihat dua orang yang berada sekitar beberapa meter dari mereka memasuki rumah makan. Seseorang yang nampaknya ia kenal jelas. “Bukannya itu Kagami dan.. Momoi..”

Kemudian Midorima menoleh. Itu memang mereka. “Itu mereka nanodayo” kata Midorima dengan kesal mengingat kejadian yang selalu ia lalui ketika ada Kagami.

“Haha.. aku baru sadar kalau mereka akhirnya pacaran juga, terakhir aku dengar, Momoi memanggilnya Taiga-chan ya? Hahaha! O .. iya ayo kita dekati mereka.”

“Lebih baik jangan nanodayo..” cegah Midorima.

“Hah?”

“Aku tidak ingin berurusan dengan mereka, lagi pula, busnya datang”

Kemudian bus itu benar-benar datang.

“Kau benar, ayo..”

Kemudian Midorima dan Takao memasuki bus itu dan segera menduduki kursi yang masih kosong. Kebetulan, bus kota sedang sepi-sepinya. Ya, karena ini masih pagi dan belum banyak orang yang menggunakan angkutan umum. Dengan begitu mereka bisa lebih leluasa lagi memilih kursi.

Takao duduk di sebelah jendela. Sedangkan Midorima memilih untuk duduk di bangku luar. Takao terlihat menikmati pemandangan yang dilihatnya di dekat jendela. Meskipun hanya toko, warung makan, dan berbagai gedung saja yang ia lihat. Tapi, ia terlihat menikmatinya seperti anak kecil.

“Oiy!” Midorima memanggil Takao karena merasa sedikit terganggu dengan tingkah kekanak-kanakan Takao.

“Ada apa Shin-chan?”

“Tingkah mu itu kekanak-kanakan sekali nanodayo, kalau boleh jujur, itu sedikit mengganggu ku”

“Hah? Kau merasa terganggu? Berlebihan sekali..” ejek Takao dengan senyumannya.

“Terserah apa katamu nanodayo..”

“Aku hanya mengingat saat aku berada di bus ini pada saat aku masih kecil, bersama ayah dan ibu ku. Aku tidak bisa melupakan hal itu, menyenangkan...” kata Takao kemudian terdiam da melihat kembali keluar jendela.

Kali ini Midorima memilih untuk membiarkan Takao seperti itu. Mengingat bahwa ia sendiri tidak pernah mengalami hal menyenangkan pada saat masa kecilnya. Pernah sekali ia merasa bahagia karena bermain dengan salah satu teman masa kecilnya. Namun...

“Oiy Shin-chan, kita sudah sampai.” Lagi-lagi, panggilan tiba-tiba dari Takao membuat Midorima tersadar dari lamunannya.

“O.. iya,” kemudian Midorima bergegas berdiri dari bangkunya. Diikuti dengan Takao.

--

Mereka berdua pun memasuki rumah sakit. Tidak begitu banyak orang yang terlihat, tidak seperti biasanya. Mungkin hanya beberapa orang saja yang melintas. Ada seorang anak perempuan yang mendorongkan kursi roda ayahnya. Ada juga seorang anak yang menyuapi ibunya yang ada di atas kursi roda.

Setelah berbicara dengan seorang suster di depan meja akutansi, akhirnya mereka bisa menuju kamar dimana Ibu Takao dirawat. Suster itu mengantarkan mereka berdua.

Setelah beberapa menit berjalan mereka pun sampai. Ruangan lantai tiga nomor 180, dengan nama keluarga Takao. Berada di depan ruangan itu saja sudah membuat Takao merasa gugup. Ia sepertinya tidak siap dengan apa yang akan di lakukannya. Ia takut jika peryataan yang dilontarkannya akan membuat ibunya kecewa.

“Huff...” Takao perlahan menghembuskan nafasnya dan berusaha tenang setenang-tenangnya.

“Bagaimana? Kau siap?” kata Midorima memastikan.

Takao mengangguk pelan tanda meng iya kan. Takao pun membuka pintu kayu itu dan segera masuk kemudian menutupnya kembali. Midorima memilih untuk menunggu di kursi tepat ada di depan ruangan itu.

--

Beberapa menit berlalu. Takao masih belum selesai berbicara dengan ibunya. Midorima masih tetap menunggu di kursi depan. Ia mulai merasa bosan dengan tatapannya yang mulai sayu.

Tiba-tiba, pintu ruangan ibu Takao terbuka. Takao terlihat seperti merasa sangat kesal. Melihat temannya berekspresi seperti itu, Midorima pun berdiri dan segera bertanya.

“Takao? Ada apa?”

“Tidak...” jawab Takao dengan nada kesalnya. “AKU TIDAK MAU BERBICARA DENGAN IBU LAGI!!!” kemudian Takao berlari dengan kencangnya.

“Takao!!”

“Kazunari!! Tunggu dulu!!” teriak salah satu nenek dari dalam ruangan yang kelihatannya nenek Takao.

Midorima pun mengejar Takao yang berlari kencang tanpa menghiraukan siapapun bahkan orang yang hampir ia tabrak “TAKAO!! TUNGGU!!!”

Takao pun terus berlari tanpa menghiraukan teriakan panggilan dari Midorima. Ia terus berlari dengan air matanya yang terus menetes itu. Berlari kencang tanpa tujuan yang jelas, itulah yang mungkin akan dilakukan orang-orang yang frustasi akan suatu hal yang tidak dapat ia terima.

--

Midorima terus mengejar Takao hingga jauh bahkan sampai meninggalkan kota. Di daerah perbukitan belakang kota. Ia mulai tahu kemana tujuan Takao.

Takao berlari menuju kebelakang bukit dan masuk kedalam hutan yang jalannya menurun. Sepertinya benar dugaan Midorima. Ladang bunga matahari itu tujuan Takao.

Takao terus berlari kedalam ladang bunga Matahari itu. Terus masuk lebih dalam lagi hingga tidak terlihat.

“Takao!...” kata Midorima dengan bingung mencari Takao. “Hhh... seharusnya aku sudah tau kalau ini terjadi nanodayo..” kata Midorima dengan kesalnya. Kemudian ia mencari-cari tempat yang dipenuhi rumput ditengah-tengah ladang bunga. Ia bisa dengan mudah mencari Takao, karena jejak Takao terlihat dari beberapa bunga Matahari yang agak miring akibat senggolan seseorang.

Kemudian Midorima melihat rerumputan yang mereka singgahi kemarin. “Takao..”

Namun Takao tidak menghiraukan Midorima. Ia tetap duduk sambil menekuk lututnya dan menutup matanya dengan lengan diatas lututnya. Midorima pun memilih untuk duduk di sebelah Takao.

“Takao?..”

“Shin-chan...” Takao tetap dalam posisi yang tadi “dia.. dia tetap melarang ku untuk bermain basket... bahkan ia tidak menghiraukan saat aku mengatakan bahwa teman-teman ku semua membutuhkan ku... aku tidak mau berbicara dengannya lagi..”

Kemudian Midorima teringat kembali akan sesuatu. Sesuatu saat ia masih kecil “Takao, jika kau berkata seperti itu, kau pasti akan menyesal suatu saat..”

“...?” Takao kemudian membuka matanya dan memperlihatkan wajahnya.

“Dulu, di saat aku masih kecil. Pertama kali aku menyukai basket. aku selalu melatih lemparan dan operan basket ku. Saat itu aku tidak memiliki teman, hanya adik ku saja yang aku miliki seorang. Ia adalah adik perempuan ku yang sangat aku sayangi.

Pada suatu siang di cuaca yang panas. Aku mengajak adik ku untuk bermain basket. ia berwajah sedikit pucat. Sebenarnya aku sudah memperingatkannya, tapi ia tidak mau dengar. Ia tetap bermain bersama ku.. namun saat aku mengoper bola kepadanya... dia pingsan. Aku merasa sangat bersalah atas kejadian itu. Ayah ku hanya marah-marah kepadaku. Memukuli ku dengan kayu hingga bahkan aku tidak sanggup menangis. Sedangkan ibu ku bersikeras untuk menghalangi niat ayah ku, namun ia tidak berhasil.

Saat aku mengunjung adik ku.. betapa terkejutnya aku saat mengetahui bahwa ia.. meninggal dunia..”

“...!” ekspresi Takao berubah ketika ia pertama kali melihat Midorima mengeluarkan air matanya.

“Ayah ku terus mencaci maki ku. Memukuli ku. Tapi saat ia berusaha memukul ku.. malah ibu ku yang terkena pukulan itu. Ia langsung ambruk dan pingsan. Aku pun berkata jika aku tidak akan mau lagi berbicara dengan Ayah. Di saat itu pula mata Ayah berubah. Pandangannya seperti seluruh dunia menghitam dan perlahan menjauhinya. Ia langsung keluar dan membawa mobilnya pergi entah kemana. Tapi saat ia baru saja berangkat... sebuah truk besar menghantam mobilnya..”

“Shin-chan...” Takao dengan tiba-tiba memeluk Midorima. “Aku mohon.. jangan diteruskan...” kata Takao dengan pipinya yang mulai basah akibat ia tak kuasa menahan tangis saat mendengar cerita dari masa lalu Midorima.

“Takao...” kata Midorima sambil mengusap matanya beberapa kali dan berusaha menghilangkan air matanya. Namun sepertinya itu sia-sia saja.

Sekarang Takao sadar. Bahwa ia mengingkari janji lamanya kepada Ayahnya. Padahal ia sudah berjanji di ladang bunga Matahari ini untuk menjaga ibunya dengan baik. Namun apa yang ia lakukan saat ini adalah memarahi ibunya sendiri. Ia memetik salah satu bunga sebagai tanda permintaan maafnya kepada ibunya.

--

Setelah mereka meninggalkan ladang bunga Matahari tersebut, mereka kembali ke kota. Cukup lama juga, bahkan sampai sore. Mereka pun tiba di rumah sakit umum Tokyo.

“Menurut mu apa yang akan ibu katakan saat aku memberikan bunga ini?”

“Entahlah nanodayo. Itu tergantung dari bagaimana cara mu memberikannya..”

Langkah mereka berhenti ketika melihat kamar ibu Takao di penuhi banyak orang. Nenek Takao terlihat muram dengan berdiri di depan pintu sendirian.

“Ada apa ini?!” kata Takao terkejut melihat ini. “Nenek ada apa?”

Nenek Takao dengan perlahan menoleh. Tatapannya semakin dalam ketika ia melihat Takao. “Kazunari ... Ibu mu...”

“Ada apa dengan ibu?!”

“Ibu mu...”

Entah apa yang dikatakan nenek Takao. Namun itu membuat Takao dan Midorima terkejut. Bahkan Takao sampai menjatuhkan bunga Mataharinya ke lantai.

--bersambung—


Prolog:

Sebuah sentuhan angin yang lembut membuat ku sedikit kedinginan. Di bawah pohon besar ini aku merasa sedikit hangat. Pohon besar rindang di tengah padang rumput seluas ini. Namun, saat aku hendak membaringkan tubuh ku di bawahnya, tiba-tiba salah satu daun gugur ke atas wajah ku dengan lembut. Sepertinya memang benar, musim dingin sebentar lagi.

-eps5- Minggu yang kelam-

“Tunggu, kenapa? Kenapa seperti itu?! kau hebat dalam bermain basket, dan ibu mu. Bukan kah ibu mu selalu berharab jika kemampuan basket mu bisa melebihi ayah mu?” sifat Midorima berubah setelah mendengar kalimat dari Takao barusan.

“Dia bilang ia takut jika hal yang sama menimpa ku... ”

“Kau menjawab apa?”

“Aku belum memberikan jawaban, tapi aku akan memberikannya besok.. aku masih bingung ingin menjawab apa. Jika aku berhenti, aku tidak akan pernah menghabiskan waktu bersama teman-teman ku lagi. Tidak akan ada pertandingan yang membuat ku selalu bersemangat. Dan mungkin,.. hidup ku tidak akan berwarna lagi..”

Midorima terdiam melihat ekspresi Takao yang menunjukan wajah kesal tidak terimanya itu. Matanya yang berkaca-kaca juga menandakan bahwa ia memang benar-benar kesal, apalagi ibunya sendiri yang menyuruhnya berhenti. Mungkin Midorima tidak begitu tau bagaimana keluarga Takao, tapi ia tau jika Takao memang tidak terima dengan ini semua.

“Jika kau memang tidak tau apa yang harus kau katakan kepada ibu mu, kenapa kau tidak bilang yang sebenarnya saja.”

“Aku.. aku tidak bisa, jika aku katakan yang sebenarnya, ia akan tetap menyuruhku untuk keluar dari basket...”

“Tidak ada orang tua yang seperti itu di dunia ini..” kata-kata Midorima membuat Takao mengangkat kepalanya dan melihat langsung kewajah Midorima. “Aku yakin ibu mu pasti akan mengerti”

Takao terdiam sambil mengusap pipinya yang basah karena air matanya yang menetes tadi. Ia perlahan memunculkan senyumannya.

“Kau benar Shin-chan, aku yakin ibu pasti akan mengerti jika aku lebih terbuka dengannya..” kata Takao tersenyum bahagia “Terimakasih..”

Midorima membenarkan kacamatanya. “Jangan salah sangka, aku melakukannya hanya karena kau masih di butuh kan dalam tim nanodayo..” kemudian Midorima langsung berbaring dan menarik selimutnya.

“Benarkah?..  tapi sepertinya bukan begitu..” kata Takao yang megerti betul sifat Midorima yang pemalu.

--

Sinar matahari pagi memancar dari balik tirai di jendela kamar Takao. Tidak di sangka jika Midorima benar-benar tidur nyenyak di kamar Takao. Ia pun melepas topi tidurnya dan memakai kacamatanya. Ia baru tersadar jika Takao sudah tidak ada di atas futon yang ada di atas lantai.

“Takao?..” Midorima pun berdiri dari kasur yang ia tiduri sepanjang malam ini. Sesekali ia meregangkan tubuhnya.

Ia menuruni tangga menuju lantai satu. Di saat ia menuju lantai satu, ada bau enak tercium dari dapur. Rupanya itu Takao yang sedang memasak sarapan. Midorima pun menghampiri Takao yang sedang memasak.

Perlahan dan berusaha tidak mengeluarkan suara, Midorima melangkah.

“Kau sudah bangun Shin-chan?”

“Bagaimana kau tau ini aku nanodayo?”

“Haha, itu pertanyaan bodoh, dirumah ini hanya ada kau dan aku... dan mana mungkin aku lupa jika kau menginap di sini”

“Hh.. ” Midorima melihat dan baru tersadar bahwa makanan yang di masak Takao sangatlah banyak. Mulai dari Sushi, Katsu, Ebi Katsu, hingga Okonomiyaki. Tidak pernah sebelumnya ia melihat makanan sebanyak ini dalam satu ruangan kecuali saat di restaurant. “Makanan sebanyak itu untuk apa?”

“Ini? Yang bagian ini untuk sarapan dan yang bagian ini untuk menjenguk ibu ku”

“Kau akan menjenguk ibu mu?”

“Iya, dan aku juga ingin kau mengantar kan ku kesana,”

“Kenapa harus aku nanodayo?”

“Karena jika tidak ada yang mengantarkan rasanya akan sangat sepi sekali. Dan juga, kau sudah menginap dirumah ini kan?” kata Takao sambil mengeluarkan senyuman aneh pada Midorima. Membuat Midorima juga merasakan hal yang aneh.

“Baiklah kalau kau memaksa ku nanodayo..”

“Aku kan tidak memaksa... aku hanya mengajak mu haha, itu berarti kau memang mau kan hahaha!” kata Takao sambil memegangi perutnya yang sakit karena tertawa.

“Berisik nanodayo.. sudahlah aku mau mencuci muka ku dulu!” kemudian Midorima berlalu dari dapur.

“Tunggu Shin-chan! Kamar mandinya bukan di sebelah kana....”

Gubrak!!

Suara benda jatuh membuat Takao terkejut dan menghentikan masaknya. Ia bergegas keluar dapur dan melihat Midorima. Ia melihat Midorima yang sudah terkubur perabotan rumah tangga dari kayu dan juga besi. Rupanya yang Midorima buka adalah lemari. Sedangkan kamar mandinya ada di depan lemari.

“PfftBWAHAHAHA!!! AKU SUDAH BILANG PADAMU!!HAHA!!”

“Jangan tertawa nanodayo!!”

--

Hari ini, adalah hari Minggu. Di kota banyak pejalan kaki. Mereka hendak pergi untuk berjalan-jalan sejenak, atau berbelanja.

Midorima dan Takao terlihat menunggu bus di halte pinggir jalan. Takao membawa tasnya yang berisi banyak sekali makanan. Sedangkan Midorima membawa Tas dan juga lucky item hari ini berupa boneka beruang tedy memakai topi.

“Aku tidak percaya kau membawa semua lucky item mu di tas” kata Takao dengan heran.

“Sudah kau diam saja nanodayo. Aku harus bersiap-siap untuk membawa lucky item apa hari ini.. aku tidak mau mendapat kesialan nanodayo..” kata Midorima sambil membenarkan kacamatanya.

“Kesialan ya?...” kemudian Takao melihat dua orang yang berada sekitar beberapa meter dari mereka memasuki rumah makan. Seseorang yang nampaknya ia kenal jelas. “Bukannya itu Kagami dan.. Momoi..”

Kemudian Midorima menoleh. Itu memang mereka. “Itu mereka nanodayo” kata Midorima dengan kesal mengingat kejadian yang selalu ia lalui ketika ada Kagami.

“Haha.. aku baru sadar kalau mereka akhirnya pacaran juga, terakhir aku dengar, Momoi memanggilnya Taiga-chan ya? Hahaha! O .. iya ayo kita dekati mereka.”

“Lebih baik jangan nanodayo..” cegah Midorima.

“Hah?”

“Aku tidak ingin berurusan dengan mereka, lagi pula, busnya datang”

Kemudian bus itu benar-benar datang.

“Kau benar, ayo..”

Kemudian Midorima dan Takao memasuki bus itu dan segera menduduki kursi yang masih kosong. Kebetulan, bus kota sedang sepi-sepinya. Ya, karena ini masih pagi dan belum banyak orang yang menggunakan angkutan umum. Dengan begitu mereka bisa lebih leluasa lagi memilih kursi.

Takao duduk di sebelah jendela. Sedangkan Midorima memilih untuk duduk di bangku luar. Takao terlihat menikmati pemandangan yang dilihatnya di dekat jendela. Meskipun hanya toko, warung makan, dan berbagai gedung saja yang ia lihat. Tapi, ia terlihat menikmatinya seperti anak kecil.

“Oiy!” Midorima memanggil Takao karena merasa sedikit terganggu dengan tingkah kekanak-kanakan Takao.

“Ada apa Shin-chan?”

“Tingkah mu itu kekanak-kanakan sekali nanodayo, kalau boleh jujur, itu sedikit mengganggu ku”

“Hah? Kau merasa terganggu? Berlebihan sekali..” ejek Takao dengan senyumannya.

“Terserah apa katamu nanodayo..”

“Aku hanya mengingat saat aku berada di bus ini pada saat aku masih kecil, bersama ayah dan ibu ku. Aku tidak bisa melupakan hal itu, menyenangkan...” kata Takao kemudian terdiam da melihat kembali keluar jendela.

Kali ini Midorima memilih untuk membiarkan Takao seperti itu. Mengingat bahwa ia sendiri tidak pernah mengalami hal menyenangkan pada saat masa kecilnya. Pernah sekali ia merasa bahagia karena bermain dengan salah satu teman masa kecilnya. Namun...

“Oiy Shin-chan, kita sudah sampai.” Lagi-lagi, panggilan tiba-tiba dari Takao membuat Midorima tersadar dari lamunannya.

“O.. iya,” kemudian Midorima bergegas berdiri dari bangkunya. Diikuti dengan Takao.

--

Mereka berdua pun memasuki rumah sakit. Tidak begitu banyak orang yang terlihat, tidak seperti biasanya. Mungkin hanya beberapa orang saja yang melintas. Ada seorang anak perempuan yang mendorongkan kursi roda ayahnya. Ada juga seorang anak yang menyuapi ibunya yang ada di atas kursi roda.

Setelah berbicara dengan seorang suster di depan meja akutansi, akhirnya mereka bisa menuju kamar dimana Ibu Takao dirawat. Suster itu mengantarkan mereka berdua.

Setelah beberapa menit berjalan mereka pun sampai. Ruangan lantai tiga nomor 180, dengan nama keluarga Takao. Berada di depan ruangan itu saja sudah membuat Takao merasa gugup. Ia sepertinya tidak siap dengan apa yang akan di lakukannya. Ia takut jika peryataan yang dilontarkannya akan membuat ibunya kecewa.

“Huff...” Takao perlahan menghembuskan nafasnya dan berusaha tenang setenang-tenangnya.

“Bagaimana? Kau siap?” kata Midorima memastikan.

Takao mengangguk pelan tanda meng iya kan. Takao pun membuka pintu kayu itu dan segera masuk kemudian menutupnya kembali. Midorima memilih untuk menunggu di kursi tepat ada di depan ruangan itu.

--

Beberapa menit berlalu. Takao masih belum selesai berbicara dengan ibunya. Midorima masih tetap menunggu di kursi depan. Ia mulai merasa bosan dengan tatapannya yang mulai sayu.

Tiba-tiba, pintu ruangan ibu Takao terbuka. Takao terlihat seperti merasa sangat kesal. Melihat temannya berekspresi seperti itu, Midorima pun berdiri dan segera bertanya.

“Takao? Ada apa?”

“Tidak...” jawab Takao dengan nada kesalnya. “AKU TIDAK MAU BERBICARA DENGAN IBU LAGI!!!” kemudian Takao berlari dengan kencangnya.

“Takao!!”

“Kazunari!! Tunggu dulu!!” teriak salah satu nenek dari dalam ruangan yang kelihatannya nenek Takao.

Midorima pun mengejar Takao yang berlari kencang tanpa menghiraukan siapapun bahkan orang yang hampir ia tabrak “TAKAO!! TUNGGU!!!”

Takao pun terus berlari tanpa menghiraukan teriakan panggilan dari Midorima. Ia terus berlari dengan air matanya yang terus menetes itu. Berlari kencang tanpa tujuan yang jelas, itulah yang mungkin akan dilakukan orang-orang yang frustasi akan suatu hal yang tidak dapat ia terima.

--

Midorima terus mengejar Takao hingga jauh bahkan sampai meninggalkan kota. Di daerah perbukitan belakang kota. Ia mulai tahu kemana tujuan Takao.

Takao berlari menuju kebelakang bukit dan masuk kedalam hutan yang jalannya menurun. Sepertinya benar dugaan Midorima. Ladang bunga matahari itu tujuan Takao.

Takao terus berlari kedalam ladang bunga Matahari itu. Terus masuk lebih dalam lagi hingga tidak terlihat.

“Takao!...” kata Midorima dengan bingung mencari Takao. “Hhh... seharusnya aku sudah tau kalau ini terjadi nanodayo..” kata Midorima dengan kesalnya. Kemudian ia mencari-cari tempat yang dipenuhi rumput ditengah-tengah ladang bunga. Ia bisa dengan mudah mencari Takao, karena jejak Takao terlihat dari beberapa bunga Matahari yang agak miring akibat senggolan seseorang.

Kemudian Midorima melihat rerumputan yang mereka singgahi kemarin. “Takao..”

Namun Takao tidak menghiraukan Midorima. Ia tetap duduk sambil menekuk lututnya dan menutup matanya dengan lengan diatas lututnya. Midorima pun memilih untuk duduk di sebelah Takao.

“Takao?..”

“Shin-chan...” Takao tetap dalam posisi yang tadi “dia.. dia tetap melarang ku untuk bermain basket... bahkan ia tidak menghiraukan saat aku mengatakan bahwa teman-teman ku semua membutuhkan ku... aku tidak mau berbicara dengannya lagi..”

Kemudian Midorima teringat kembali akan sesuatu. Sesuatu saat ia masih kecil “Takao, jika kau berkata seperti itu, kau pasti akan menyesal suatu saat..”

“...?” Takao kemudian membuka matanya dan memperlihatkan wajahnya.

“Dulu, di saat aku masih kecil. Pertama kali aku menyukai basket. aku selalu melatih lemparan dan operan basket ku. Saat itu aku tidak memiliki teman, hanya adik ku saja yang aku miliki seorang. Ia adalah adik perempuan ku yang sangat aku sayangi.

Pada suatu siang di cuaca yang panas. Aku mengajak adik ku untuk bermain basket. ia berwajah sedikit pucat. Sebenarnya aku sudah memperingatkannya, tapi ia tidak mau dengar. Ia tetap bermain bersama ku.. namun saat aku mengoper bola kepadanya... dia pingsan. Aku merasa sangat bersalah atas kejadian itu. Ayah ku hanya marah-marah kepadaku. Memukuli ku dengan kayu hingga bahkan aku tidak sanggup menangis. Sedangkan ibu ku bersikeras untuk menghalangi niat ayah ku, namun ia tidak berhasil.

Saat aku mengunjung adik ku.. betapa terkejutnya aku saat mengetahui bahwa ia.. meninggal dunia..”

“...!” ekspresi Takao berubah ketika ia pertama kali melihat Midorima mengeluarkan air matanya.

“Ayah ku terus mencaci maki ku. Memukuli ku. Tapi saat ia berusaha memukul ku.. malah ibu ku yang terkena pukulan itu. Ia langsung ambruk dan pingsan. Aku pun berkata jika aku tidak akan mau lagi berbicara dengan Ayah. Di saat itu pula mata Ayah berubah. Pandangannya seperti seluruh dunia menghitam dan perlahan menjauhinya. Ia langsung keluar dan membawa mobilnya pergi entah kemana. Tapi saat ia baru saja berangkat... sebuah truk besar menghantam mobilnya..”

“Shin-chan...” Takao dengan tiba-tiba memeluk Midorima. “Aku mohon.. jangan diteruskan...” kata Takao dengan pipinya yang mulai basah akibat ia tak kuasa menahan tangis saat mendengar cerita dari masa lalu Midorima.

“Takao...” kata Midorima sambil mengusap matanya beberapa kali dan berusaha menghilangkan air matanya. Namun sepertinya itu sia-sia saja.

Sekarang Takao sadar. Bahwa ia mengingkari janji lamanya kepada Ayahnya. Padahal ia sudah berjanji di ladang bunga Matahari ini untuk menjaga ibunya dengan baik. Namun apa yang ia lakukan saat ini adalah memarahi ibunya sendiri. Ia memetik salah satu bunga sebagai tanda permintaan maafnya kepada ibunya.

--

Setelah mereka meninggalkan ladang bunga Matahari tersebut, mereka kembali ke kota. Cukup lama juga, bahkan sampai sore. Mereka pun tiba di rumah sakit umum Tokyo.

“Menurut mu apa yang akan ibu katakan saat aku memberikan bunga ini?”

“Entahlah nanodayo. Itu tergantung dari bagaimana cara mu memberikannya..”

Langkah mereka berhenti ketika melihat kamar ibu Takao di penuhi banyak orang. Nenek Takao terlihat muram dengan berdiri di depan pintu sendirian.

“Ada apa ini?!” kata Takao terkejut melihat ini. “Nenek ada apa?”

Nenek Takao dengan perlahan menoleh. Tatapannya semakin dalam ketika ia melihat Takao. “Kazunari ... Ibu mu...”

“Ada apa dengan ibu?!”

“Ibu mu...”

Entah apa yang dikatakan nenek Takao. Namun itu membuat Takao dan Midorima terkejut. Bahkan Takao sampai menjatuhkan bunga Mataharinya ke lantai.

--bersambung—