Sabtu, 07 Mei 2016

KNB Fanfiction : Himawari no yakusoku (MidoTaka) eps 5







Prolog:

Sebuah sentuhan angin yang lembut membuat ku sedikit kedinginan. Di bawah pohon besar ini aku merasa sedikit hangat. Pohon besar rindang di tengah padang rumput seluas ini. Namun, saat aku hendak membaringkan tubuh ku di bawahnya, tiba-tiba salah satu daun gugur ke atas wajah ku dengan lembut. Sepertinya memang benar, musim dingin sebentar lagi.

-eps5- Minggu yang kelam-

“Tunggu, kenapa? Kenapa seperti itu?! kau hebat dalam bermain basket, dan ibu mu. Bukan kah ibu mu selalu berharab jika kemampuan basket mu bisa melebihi ayah mu?” sifat Midorima berubah setelah mendengar kalimat dari Takao barusan.

“Dia bilang ia takut jika hal yang sama menimpa ku... ”

“Kau menjawab apa?”

“Aku belum memberikan jawaban, tapi aku akan memberikannya besok.. aku masih bingung ingin menjawab apa. Jika aku berhenti, aku tidak akan pernah menghabiskan waktu bersama teman-teman ku lagi. Tidak akan ada pertandingan yang membuat ku selalu bersemangat. Dan mungkin,.. hidup ku tidak akan berwarna lagi..”

Midorima terdiam melihat ekspresi Takao yang menunjukan wajah kesal tidak terimanya itu. Matanya yang berkaca-kaca juga menandakan bahwa ia memang benar-benar kesal, apalagi ibunya sendiri yang menyuruhnya berhenti. Mungkin Midorima tidak begitu tau bagaimana keluarga Takao, tapi ia tau jika Takao memang tidak terima dengan ini semua.

“Jika kau memang tidak tau apa yang harus kau katakan kepada ibu mu, kenapa kau tidak bilang yang sebenarnya saja.”

“Aku.. aku tidak bisa, jika aku katakan yang sebenarnya, ia akan tetap menyuruhku untuk keluar dari basket...”

“Tidak ada orang tua yang seperti itu di dunia ini..” kata-kata Midorima membuat Takao mengangkat kepalanya dan melihat langsung kewajah Midorima. “Aku yakin ibu mu pasti akan mengerti”

Takao terdiam sambil mengusap pipinya yang basah karena air matanya yang menetes tadi. Ia perlahan memunculkan senyumannya.

“Kau benar Shin-chan, aku yakin ibu pasti akan mengerti jika aku lebih terbuka dengannya..” kata Takao tersenyum bahagia “Terimakasih..”

Midorima membenarkan kacamatanya. “Jangan salah sangka, aku melakukannya hanya karena kau masih di butuh kan dalam tim nanodayo..” kemudian Midorima langsung berbaring dan menarik selimutnya.

“Benarkah?..  tapi sepertinya bukan begitu..” kata Takao yang megerti betul sifat Midorima yang pemalu.

--

Sinar matahari pagi memancar dari balik tirai di jendela kamar Takao. Tidak di sangka jika Midorima benar-benar tidur nyenyak di kamar Takao. Ia pun melepas topi tidurnya dan memakai kacamatanya. Ia baru tersadar jika Takao sudah tidak ada di atas futon yang ada di atas lantai.

“Takao?..” Midorima pun berdiri dari kasur yang ia tiduri sepanjang malam ini. Sesekali ia meregangkan tubuhnya.

Ia menuruni tangga menuju lantai satu. Di saat ia menuju lantai satu, ada bau enak tercium dari dapur. Rupanya itu Takao yang sedang memasak sarapan. Midorima pun menghampiri Takao yang sedang memasak.

Perlahan dan berusaha tidak mengeluarkan suara, Midorima melangkah.

“Kau sudah bangun Shin-chan?”

“Bagaimana kau tau ini aku nanodayo?”

“Haha, itu pertanyaan bodoh, dirumah ini hanya ada kau dan aku... dan mana mungkin aku lupa jika kau menginap di sini”

“Hh.. ” Midorima melihat dan baru tersadar bahwa makanan yang di masak Takao sangatlah banyak. Mulai dari Sushi, Katsu, Ebi Katsu, hingga Okonomiyaki. Tidak pernah sebelumnya ia melihat makanan sebanyak ini dalam satu ruangan kecuali saat di restaurant. “Makanan sebanyak itu untuk apa?”

“Ini? Yang bagian ini untuk sarapan dan yang bagian ini untuk menjenguk ibu ku”

“Kau akan menjenguk ibu mu?”

“Iya, dan aku juga ingin kau mengantar kan ku kesana,”

“Kenapa harus aku nanodayo?”

“Karena jika tidak ada yang mengantarkan rasanya akan sangat sepi sekali. Dan juga, kau sudah menginap dirumah ini kan?” kata Takao sambil mengeluarkan senyuman aneh pada Midorima. Membuat Midorima juga merasakan hal yang aneh.

“Baiklah kalau kau memaksa ku nanodayo..”

“Aku kan tidak memaksa... aku hanya mengajak mu haha, itu berarti kau memang mau kan hahaha!” kata Takao sambil memegangi perutnya yang sakit karena tertawa.

“Berisik nanodayo.. sudahlah aku mau mencuci muka ku dulu!” kemudian Midorima berlalu dari dapur.

“Tunggu Shin-chan! Kamar mandinya bukan di sebelah kana....”

Gubrak!!

Suara benda jatuh membuat Takao terkejut dan menghentikan masaknya. Ia bergegas keluar dapur dan melihat Midorima. Ia melihat Midorima yang sudah terkubur perabotan rumah tangga dari kayu dan juga besi. Rupanya yang Midorima buka adalah lemari. Sedangkan kamar mandinya ada di depan lemari.

“PfftBWAHAHAHA!!! AKU SUDAH BILANG PADAMU!!HAHA!!”

“Jangan tertawa nanodayo!!”

--

Hari ini, adalah hari Minggu. Di kota banyak pejalan kaki. Mereka hendak pergi untuk berjalan-jalan sejenak, atau berbelanja.

Midorima dan Takao terlihat menunggu bus di halte pinggir jalan. Takao membawa tasnya yang berisi banyak sekali makanan. Sedangkan Midorima membawa Tas dan juga lucky item hari ini berupa boneka beruang tedy memakai topi.

“Aku tidak percaya kau membawa semua lucky item mu di tas” kata Takao dengan heran.

“Sudah kau diam saja nanodayo. Aku harus bersiap-siap untuk membawa lucky item apa hari ini.. aku tidak mau mendapat kesialan nanodayo..” kata Midorima sambil membenarkan kacamatanya.

“Kesialan ya?...” kemudian Takao melihat dua orang yang berada sekitar beberapa meter dari mereka memasuki rumah makan. Seseorang yang nampaknya ia kenal jelas. “Bukannya itu Kagami dan.. Momoi..”

Kemudian Midorima menoleh. Itu memang mereka. “Itu mereka nanodayo” kata Midorima dengan kesal mengingat kejadian yang selalu ia lalui ketika ada Kagami.

“Haha.. aku baru sadar kalau mereka akhirnya pacaran juga, terakhir aku dengar, Momoi memanggilnya Taiga-chan ya? Hahaha! O .. iya ayo kita dekati mereka.”

“Lebih baik jangan nanodayo..” cegah Midorima.

“Hah?”

“Aku tidak ingin berurusan dengan mereka, lagi pula, busnya datang”

Kemudian bus itu benar-benar datang.

“Kau benar, ayo..”

Kemudian Midorima dan Takao memasuki bus itu dan segera menduduki kursi yang masih kosong. Kebetulan, bus kota sedang sepi-sepinya. Ya, karena ini masih pagi dan belum banyak orang yang menggunakan angkutan umum. Dengan begitu mereka bisa lebih leluasa lagi memilih kursi.

Takao duduk di sebelah jendela. Sedangkan Midorima memilih untuk duduk di bangku luar. Takao terlihat menikmati pemandangan yang dilihatnya di dekat jendela. Meskipun hanya toko, warung makan, dan berbagai gedung saja yang ia lihat. Tapi, ia terlihat menikmatinya seperti anak kecil.

“Oiy!” Midorima memanggil Takao karena merasa sedikit terganggu dengan tingkah kekanak-kanakan Takao.

“Ada apa Shin-chan?”

“Tingkah mu itu kekanak-kanakan sekali nanodayo, kalau boleh jujur, itu sedikit mengganggu ku”

“Hah? Kau merasa terganggu? Berlebihan sekali..” ejek Takao dengan senyumannya.

“Terserah apa katamu nanodayo..”

“Aku hanya mengingat saat aku berada di bus ini pada saat aku masih kecil, bersama ayah dan ibu ku. Aku tidak bisa melupakan hal itu, menyenangkan...” kata Takao kemudian terdiam da melihat kembali keluar jendela.

Kali ini Midorima memilih untuk membiarkan Takao seperti itu. Mengingat bahwa ia sendiri tidak pernah mengalami hal menyenangkan pada saat masa kecilnya. Pernah sekali ia merasa bahagia karena bermain dengan salah satu teman masa kecilnya. Namun...

“Oiy Shin-chan, kita sudah sampai.” Lagi-lagi, panggilan tiba-tiba dari Takao membuat Midorima tersadar dari lamunannya.

“O.. iya,” kemudian Midorima bergegas berdiri dari bangkunya. Diikuti dengan Takao.

--

Mereka berdua pun memasuki rumah sakit. Tidak begitu banyak orang yang terlihat, tidak seperti biasanya. Mungkin hanya beberapa orang saja yang melintas. Ada seorang anak perempuan yang mendorongkan kursi roda ayahnya. Ada juga seorang anak yang menyuapi ibunya yang ada di atas kursi roda.

Setelah berbicara dengan seorang suster di depan meja akutansi, akhirnya mereka bisa menuju kamar dimana Ibu Takao dirawat. Suster itu mengantarkan mereka berdua.

Setelah beberapa menit berjalan mereka pun sampai. Ruangan lantai tiga nomor 180, dengan nama keluarga Takao. Berada di depan ruangan itu saja sudah membuat Takao merasa gugup. Ia sepertinya tidak siap dengan apa yang akan di lakukannya. Ia takut jika peryataan yang dilontarkannya akan membuat ibunya kecewa.

“Huff...” Takao perlahan menghembuskan nafasnya dan berusaha tenang setenang-tenangnya.

“Bagaimana? Kau siap?” kata Midorima memastikan.

Takao mengangguk pelan tanda meng iya kan. Takao pun membuka pintu kayu itu dan segera masuk kemudian menutupnya kembali. Midorima memilih untuk menunggu di kursi tepat ada di depan ruangan itu.

--

Beberapa menit berlalu. Takao masih belum selesai berbicara dengan ibunya. Midorima masih tetap menunggu di kursi depan. Ia mulai merasa bosan dengan tatapannya yang mulai sayu.

Tiba-tiba, pintu ruangan ibu Takao terbuka. Takao terlihat seperti merasa sangat kesal. Melihat temannya berekspresi seperti itu, Midorima pun berdiri dan segera bertanya.

“Takao? Ada apa?”

“Tidak...” jawab Takao dengan nada kesalnya. “AKU TIDAK MAU BERBICARA DENGAN IBU LAGI!!!” kemudian Takao berlari dengan kencangnya.

“Takao!!”

“Kazunari!! Tunggu dulu!!” teriak salah satu nenek dari dalam ruangan yang kelihatannya nenek Takao.

Midorima pun mengejar Takao yang berlari kencang tanpa menghiraukan siapapun bahkan orang yang hampir ia tabrak “TAKAO!! TUNGGU!!!”

Takao pun terus berlari tanpa menghiraukan teriakan panggilan dari Midorima. Ia terus berlari dengan air matanya yang terus menetes itu. Berlari kencang tanpa tujuan yang jelas, itulah yang mungkin akan dilakukan orang-orang yang frustasi akan suatu hal yang tidak dapat ia terima.

--

Midorima terus mengejar Takao hingga jauh bahkan sampai meninggalkan kota. Di daerah perbukitan belakang kota. Ia mulai tahu kemana tujuan Takao.

Takao berlari menuju kebelakang bukit dan masuk kedalam hutan yang jalannya menurun. Sepertinya benar dugaan Midorima. Ladang bunga matahari itu tujuan Takao.

Takao terus berlari kedalam ladang bunga Matahari itu. Terus masuk lebih dalam lagi hingga tidak terlihat.

“Takao!...” kata Midorima dengan bingung mencari Takao. “Hhh... seharusnya aku sudah tau kalau ini terjadi nanodayo..” kata Midorima dengan kesalnya. Kemudian ia mencari-cari tempat yang dipenuhi rumput ditengah-tengah ladang bunga. Ia bisa dengan mudah mencari Takao, karena jejak Takao terlihat dari beberapa bunga Matahari yang agak miring akibat senggolan seseorang.

Kemudian Midorima melihat rerumputan yang mereka singgahi kemarin. “Takao..”

Namun Takao tidak menghiraukan Midorima. Ia tetap duduk sambil menekuk lututnya dan menutup matanya dengan lengan diatas lututnya. Midorima pun memilih untuk duduk di sebelah Takao.

“Takao?..”

“Shin-chan...” Takao tetap dalam posisi yang tadi “dia.. dia tetap melarang ku untuk bermain basket... bahkan ia tidak menghiraukan saat aku mengatakan bahwa teman-teman ku semua membutuhkan ku... aku tidak mau berbicara dengannya lagi..”

Kemudian Midorima teringat kembali akan sesuatu. Sesuatu saat ia masih kecil “Takao, jika kau berkata seperti itu, kau pasti akan menyesal suatu saat..”

“...?” Takao kemudian membuka matanya dan memperlihatkan wajahnya.

“Dulu, di saat aku masih kecil. Pertama kali aku menyukai basket. aku selalu melatih lemparan dan operan basket ku. Saat itu aku tidak memiliki teman, hanya adik ku saja yang aku miliki seorang. Ia adalah adik perempuan ku yang sangat aku sayangi.

Pada suatu siang di cuaca yang panas. Aku mengajak adik ku untuk bermain basket. ia berwajah sedikit pucat. Sebenarnya aku sudah memperingatkannya, tapi ia tidak mau dengar. Ia tetap bermain bersama ku.. namun saat aku mengoper bola kepadanya... dia pingsan. Aku merasa sangat bersalah atas kejadian itu. Ayah ku hanya marah-marah kepadaku. Memukuli ku dengan kayu hingga bahkan aku tidak sanggup menangis. Sedangkan ibu ku bersikeras untuk menghalangi niat ayah ku, namun ia tidak berhasil.

Saat aku mengunjung adik ku.. betapa terkejutnya aku saat mengetahui bahwa ia.. meninggal dunia..”

“...!” ekspresi Takao berubah ketika ia pertama kali melihat Midorima mengeluarkan air matanya.

“Ayah ku terus mencaci maki ku. Memukuli ku. Tapi saat ia berusaha memukul ku.. malah ibu ku yang terkena pukulan itu. Ia langsung ambruk dan pingsan. Aku pun berkata jika aku tidak akan mau lagi berbicara dengan Ayah. Di saat itu pula mata Ayah berubah. Pandangannya seperti seluruh dunia menghitam dan perlahan menjauhinya. Ia langsung keluar dan membawa mobilnya pergi entah kemana. Tapi saat ia baru saja berangkat... sebuah truk besar menghantam mobilnya..”

“Shin-chan...” Takao dengan tiba-tiba memeluk Midorima. “Aku mohon.. jangan diteruskan...” kata Takao dengan pipinya yang mulai basah akibat ia tak kuasa menahan tangis saat mendengar cerita dari masa lalu Midorima.

“Takao...” kata Midorima sambil mengusap matanya beberapa kali dan berusaha menghilangkan air matanya. Namun sepertinya itu sia-sia saja.

Sekarang Takao sadar. Bahwa ia mengingkari janji lamanya kepada Ayahnya. Padahal ia sudah berjanji di ladang bunga Matahari ini untuk menjaga ibunya dengan baik. Namun apa yang ia lakukan saat ini adalah memarahi ibunya sendiri. Ia memetik salah satu bunga sebagai tanda permintaan maafnya kepada ibunya.

--

Setelah mereka meninggalkan ladang bunga Matahari tersebut, mereka kembali ke kota. Cukup lama juga, bahkan sampai sore. Mereka pun tiba di rumah sakit umum Tokyo.

“Menurut mu apa yang akan ibu katakan saat aku memberikan bunga ini?”

“Entahlah nanodayo. Itu tergantung dari bagaimana cara mu memberikannya..”

Langkah mereka berhenti ketika melihat kamar ibu Takao di penuhi banyak orang. Nenek Takao terlihat muram dengan berdiri di depan pintu sendirian.

“Ada apa ini?!” kata Takao terkejut melihat ini. “Nenek ada apa?”

Nenek Takao dengan perlahan menoleh. Tatapannya semakin dalam ketika ia melihat Takao. “Kazunari ... Ibu mu...”

“Ada apa dengan ibu?!”

“Ibu mu...”

Entah apa yang dikatakan nenek Takao. Namun itu membuat Takao dan Midorima terkejut. Bahkan Takao sampai menjatuhkan bunga Mataharinya ke lantai.

--bersambung—


Prolog:

Sebuah sentuhan angin yang lembut membuat ku sedikit kedinginan. Di bawah pohon besar ini aku merasa sedikit hangat. Pohon besar rindang di tengah padang rumput seluas ini. Namun, saat aku hendak membaringkan tubuh ku di bawahnya, tiba-tiba salah satu daun gugur ke atas wajah ku dengan lembut. Sepertinya memang benar, musim dingin sebentar lagi.

-eps5- Minggu yang kelam-

“Tunggu, kenapa? Kenapa seperti itu?! kau hebat dalam bermain basket, dan ibu mu. Bukan kah ibu mu selalu berharab jika kemampuan basket mu bisa melebihi ayah mu?” sifat Midorima berubah setelah mendengar kalimat dari Takao barusan.

“Dia bilang ia takut jika hal yang sama menimpa ku... ”

“Kau menjawab apa?”

“Aku belum memberikan jawaban, tapi aku akan memberikannya besok.. aku masih bingung ingin menjawab apa. Jika aku berhenti, aku tidak akan pernah menghabiskan waktu bersama teman-teman ku lagi. Tidak akan ada pertandingan yang membuat ku selalu bersemangat. Dan mungkin,.. hidup ku tidak akan berwarna lagi..”

Midorima terdiam melihat ekspresi Takao yang menunjukan wajah kesal tidak terimanya itu. Matanya yang berkaca-kaca juga menandakan bahwa ia memang benar-benar kesal, apalagi ibunya sendiri yang menyuruhnya berhenti. Mungkin Midorima tidak begitu tau bagaimana keluarga Takao, tapi ia tau jika Takao memang tidak terima dengan ini semua.

“Jika kau memang tidak tau apa yang harus kau katakan kepada ibu mu, kenapa kau tidak bilang yang sebenarnya saja.”

“Aku.. aku tidak bisa, jika aku katakan yang sebenarnya, ia akan tetap menyuruhku untuk keluar dari basket...”

“Tidak ada orang tua yang seperti itu di dunia ini..” kata-kata Midorima membuat Takao mengangkat kepalanya dan melihat langsung kewajah Midorima. “Aku yakin ibu mu pasti akan mengerti”

Takao terdiam sambil mengusap pipinya yang basah karena air matanya yang menetes tadi. Ia perlahan memunculkan senyumannya.

“Kau benar Shin-chan, aku yakin ibu pasti akan mengerti jika aku lebih terbuka dengannya..” kata Takao tersenyum bahagia “Terimakasih..”

Midorima membenarkan kacamatanya. “Jangan salah sangka, aku melakukannya hanya karena kau masih di butuh kan dalam tim nanodayo..” kemudian Midorima langsung berbaring dan menarik selimutnya.

“Benarkah?..  tapi sepertinya bukan begitu..” kata Takao yang megerti betul sifat Midorima yang pemalu.

--

Sinar matahari pagi memancar dari balik tirai di jendela kamar Takao. Tidak di sangka jika Midorima benar-benar tidur nyenyak di kamar Takao. Ia pun melepas topi tidurnya dan memakai kacamatanya. Ia baru tersadar jika Takao sudah tidak ada di atas futon yang ada di atas lantai.

“Takao?..” Midorima pun berdiri dari kasur yang ia tiduri sepanjang malam ini. Sesekali ia meregangkan tubuhnya.

Ia menuruni tangga menuju lantai satu. Di saat ia menuju lantai satu, ada bau enak tercium dari dapur. Rupanya itu Takao yang sedang memasak sarapan. Midorima pun menghampiri Takao yang sedang memasak.

Perlahan dan berusaha tidak mengeluarkan suara, Midorima melangkah.

“Kau sudah bangun Shin-chan?”

“Bagaimana kau tau ini aku nanodayo?”

“Haha, itu pertanyaan bodoh, dirumah ini hanya ada kau dan aku... dan mana mungkin aku lupa jika kau menginap di sini”

“Hh.. ” Midorima melihat dan baru tersadar bahwa makanan yang di masak Takao sangatlah banyak. Mulai dari Sushi, Katsu, Ebi Katsu, hingga Okonomiyaki. Tidak pernah sebelumnya ia melihat makanan sebanyak ini dalam satu ruangan kecuali saat di restaurant. “Makanan sebanyak itu untuk apa?”

“Ini? Yang bagian ini untuk sarapan dan yang bagian ini untuk menjenguk ibu ku”

“Kau akan menjenguk ibu mu?”

“Iya, dan aku juga ingin kau mengantar kan ku kesana,”

“Kenapa harus aku nanodayo?”

“Karena jika tidak ada yang mengantarkan rasanya akan sangat sepi sekali. Dan juga, kau sudah menginap dirumah ini kan?” kata Takao sambil mengeluarkan senyuman aneh pada Midorima. Membuat Midorima juga merasakan hal yang aneh.

“Baiklah kalau kau memaksa ku nanodayo..”

“Aku kan tidak memaksa... aku hanya mengajak mu haha, itu berarti kau memang mau kan hahaha!” kata Takao sambil memegangi perutnya yang sakit karena tertawa.

“Berisik nanodayo.. sudahlah aku mau mencuci muka ku dulu!” kemudian Midorima berlalu dari dapur.

“Tunggu Shin-chan! Kamar mandinya bukan di sebelah kana....”

Gubrak!!

Suara benda jatuh membuat Takao terkejut dan menghentikan masaknya. Ia bergegas keluar dapur dan melihat Midorima. Ia melihat Midorima yang sudah terkubur perabotan rumah tangga dari kayu dan juga besi. Rupanya yang Midorima buka adalah lemari. Sedangkan kamar mandinya ada di depan lemari.

“PfftBWAHAHAHA!!! AKU SUDAH BILANG PADAMU!!HAHA!!”

“Jangan tertawa nanodayo!!”

--

Hari ini, adalah hari Minggu. Di kota banyak pejalan kaki. Mereka hendak pergi untuk berjalan-jalan sejenak, atau berbelanja.

Midorima dan Takao terlihat menunggu bus di halte pinggir jalan. Takao membawa tasnya yang berisi banyak sekali makanan. Sedangkan Midorima membawa Tas dan juga lucky item hari ini berupa boneka beruang tedy memakai topi.

“Aku tidak percaya kau membawa semua lucky item mu di tas” kata Takao dengan heran.

“Sudah kau diam saja nanodayo. Aku harus bersiap-siap untuk membawa lucky item apa hari ini.. aku tidak mau mendapat kesialan nanodayo..” kata Midorima sambil membenarkan kacamatanya.

“Kesialan ya?...” kemudian Takao melihat dua orang yang berada sekitar beberapa meter dari mereka memasuki rumah makan. Seseorang yang nampaknya ia kenal jelas. “Bukannya itu Kagami dan.. Momoi..”

Kemudian Midorima menoleh. Itu memang mereka. “Itu mereka nanodayo” kata Midorima dengan kesal mengingat kejadian yang selalu ia lalui ketika ada Kagami.

“Haha.. aku baru sadar kalau mereka akhirnya pacaran juga, terakhir aku dengar, Momoi memanggilnya Taiga-chan ya? Hahaha! O .. iya ayo kita dekati mereka.”

“Lebih baik jangan nanodayo..” cegah Midorima.

“Hah?”

“Aku tidak ingin berurusan dengan mereka, lagi pula, busnya datang”

Kemudian bus itu benar-benar datang.

“Kau benar, ayo..”

Kemudian Midorima dan Takao memasuki bus itu dan segera menduduki kursi yang masih kosong. Kebetulan, bus kota sedang sepi-sepinya. Ya, karena ini masih pagi dan belum banyak orang yang menggunakan angkutan umum. Dengan begitu mereka bisa lebih leluasa lagi memilih kursi.

Takao duduk di sebelah jendela. Sedangkan Midorima memilih untuk duduk di bangku luar. Takao terlihat menikmati pemandangan yang dilihatnya di dekat jendela. Meskipun hanya toko, warung makan, dan berbagai gedung saja yang ia lihat. Tapi, ia terlihat menikmatinya seperti anak kecil.

“Oiy!” Midorima memanggil Takao karena merasa sedikit terganggu dengan tingkah kekanak-kanakan Takao.

“Ada apa Shin-chan?”

“Tingkah mu itu kekanak-kanakan sekali nanodayo, kalau boleh jujur, itu sedikit mengganggu ku”

“Hah? Kau merasa terganggu? Berlebihan sekali..” ejek Takao dengan senyumannya.

“Terserah apa katamu nanodayo..”

“Aku hanya mengingat saat aku berada di bus ini pada saat aku masih kecil, bersama ayah dan ibu ku. Aku tidak bisa melupakan hal itu, menyenangkan...” kata Takao kemudian terdiam da melihat kembali keluar jendela.

Kali ini Midorima memilih untuk membiarkan Takao seperti itu. Mengingat bahwa ia sendiri tidak pernah mengalami hal menyenangkan pada saat masa kecilnya. Pernah sekali ia merasa bahagia karena bermain dengan salah satu teman masa kecilnya. Namun...

“Oiy Shin-chan, kita sudah sampai.” Lagi-lagi, panggilan tiba-tiba dari Takao membuat Midorima tersadar dari lamunannya.

“O.. iya,” kemudian Midorima bergegas berdiri dari bangkunya. Diikuti dengan Takao.

--

Mereka berdua pun memasuki rumah sakit. Tidak begitu banyak orang yang terlihat, tidak seperti biasanya. Mungkin hanya beberapa orang saja yang melintas. Ada seorang anak perempuan yang mendorongkan kursi roda ayahnya. Ada juga seorang anak yang menyuapi ibunya yang ada di atas kursi roda.

Setelah berbicara dengan seorang suster di depan meja akutansi, akhirnya mereka bisa menuju kamar dimana Ibu Takao dirawat. Suster itu mengantarkan mereka berdua.

Setelah beberapa menit berjalan mereka pun sampai. Ruangan lantai tiga nomor 180, dengan nama keluarga Takao. Berada di depan ruangan itu saja sudah membuat Takao merasa gugup. Ia sepertinya tidak siap dengan apa yang akan di lakukannya. Ia takut jika peryataan yang dilontarkannya akan membuat ibunya kecewa.

“Huff...” Takao perlahan menghembuskan nafasnya dan berusaha tenang setenang-tenangnya.

“Bagaimana? Kau siap?” kata Midorima memastikan.

Takao mengangguk pelan tanda meng iya kan. Takao pun membuka pintu kayu itu dan segera masuk kemudian menutupnya kembali. Midorima memilih untuk menunggu di kursi tepat ada di depan ruangan itu.

--

Beberapa menit berlalu. Takao masih belum selesai berbicara dengan ibunya. Midorima masih tetap menunggu di kursi depan. Ia mulai merasa bosan dengan tatapannya yang mulai sayu.

Tiba-tiba, pintu ruangan ibu Takao terbuka. Takao terlihat seperti merasa sangat kesal. Melihat temannya berekspresi seperti itu, Midorima pun berdiri dan segera bertanya.

“Takao? Ada apa?”

“Tidak...” jawab Takao dengan nada kesalnya. “AKU TIDAK MAU BERBICARA DENGAN IBU LAGI!!!” kemudian Takao berlari dengan kencangnya.

“Takao!!”

“Kazunari!! Tunggu dulu!!” teriak salah satu nenek dari dalam ruangan yang kelihatannya nenek Takao.

Midorima pun mengejar Takao yang berlari kencang tanpa menghiraukan siapapun bahkan orang yang hampir ia tabrak “TAKAO!! TUNGGU!!!”

Takao pun terus berlari tanpa menghiraukan teriakan panggilan dari Midorima. Ia terus berlari dengan air matanya yang terus menetes itu. Berlari kencang tanpa tujuan yang jelas, itulah yang mungkin akan dilakukan orang-orang yang frustasi akan suatu hal yang tidak dapat ia terima.

--

Midorima terus mengejar Takao hingga jauh bahkan sampai meninggalkan kota. Di daerah perbukitan belakang kota. Ia mulai tahu kemana tujuan Takao.

Takao berlari menuju kebelakang bukit dan masuk kedalam hutan yang jalannya menurun. Sepertinya benar dugaan Midorima. Ladang bunga matahari itu tujuan Takao.

Takao terus berlari kedalam ladang bunga Matahari itu. Terus masuk lebih dalam lagi hingga tidak terlihat.

“Takao!...” kata Midorima dengan bingung mencari Takao. “Hhh... seharusnya aku sudah tau kalau ini terjadi nanodayo..” kata Midorima dengan kesalnya. Kemudian ia mencari-cari tempat yang dipenuhi rumput ditengah-tengah ladang bunga. Ia bisa dengan mudah mencari Takao, karena jejak Takao terlihat dari beberapa bunga Matahari yang agak miring akibat senggolan seseorang.

Kemudian Midorima melihat rerumputan yang mereka singgahi kemarin. “Takao..”

Namun Takao tidak menghiraukan Midorima. Ia tetap duduk sambil menekuk lututnya dan menutup matanya dengan lengan diatas lututnya. Midorima pun memilih untuk duduk di sebelah Takao.

“Takao?..”

“Shin-chan...” Takao tetap dalam posisi yang tadi “dia.. dia tetap melarang ku untuk bermain basket... bahkan ia tidak menghiraukan saat aku mengatakan bahwa teman-teman ku semua membutuhkan ku... aku tidak mau berbicara dengannya lagi..”

Kemudian Midorima teringat kembali akan sesuatu. Sesuatu saat ia masih kecil “Takao, jika kau berkata seperti itu, kau pasti akan menyesal suatu saat..”

“...?” Takao kemudian membuka matanya dan memperlihatkan wajahnya.

“Dulu, di saat aku masih kecil. Pertama kali aku menyukai basket. aku selalu melatih lemparan dan operan basket ku. Saat itu aku tidak memiliki teman, hanya adik ku saja yang aku miliki seorang. Ia adalah adik perempuan ku yang sangat aku sayangi.

Pada suatu siang di cuaca yang panas. Aku mengajak adik ku untuk bermain basket. ia berwajah sedikit pucat. Sebenarnya aku sudah memperingatkannya, tapi ia tidak mau dengar. Ia tetap bermain bersama ku.. namun saat aku mengoper bola kepadanya... dia pingsan. Aku merasa sangat bersalah atas kejadian itu. Ayah ku hanya marah-marah kepadaku. Memukuli ku dengan kayu hingga bahkan aku tidak sanggup menangis. Sedangkan ibu ku bersikeras untuk menghalangi niat ayah ku, namun ia tidak berhasil.

Saat aku mengunjung adik ku.. betapa terkejutnya aku saat mengetahui bahwa ia.. meninggal dunia..”

“...!” ekspresi Takao berubah ketika ia pertama kali melihat Midorima mengeluarkan air matanya.

“Ayah ku terus mencaci maki ku. Memukuli ku. Tapi saat ia berusaha memukul ku.. malah ibu ku yang terkena pukulan itu. Ia langsung ambruk dan pingsan. Aku pun berkata jika aku tidak akan mau lagi berbicara dengan Ayah. Di saat itu pula mata Ayah berubah. Pandangannya seperti seluruh dunia menghitam dan perlahan menjauhinya. Ia langsung keluar dan membawa mobilnya pergi entah kemana. Tapi saat ia baru saja berangkat... sebuah truk besar menghantam mobilnya..”

“Shin-chan...” Takao dengan tiba-tiba memeluk Midorima. “Aku mohon.. jangan diteruskan...” kata Takao dengan pipinya yang mulai basah akibat ia tak kuasa menahan tangis saat mendengar cerita dari masa lalu Midorima.

“Takao...” kata Midorima sambil mengusap matanya beberapa kali dan berusaha menghilangkan air matanya. Namun sepertinya itu sia-sia saja.

Sekarang Takao sadar. Bahwa ia mengingkari janji lamanya kepada Ayahnya. Padahal ia sudah berjanji di ladang bunga Matahari ini untuk menjaga ibunya dengan baik. Namun apa yang ia lakukan saat ini adalah memarahi ibunya sendiri. Ia memetik salah satu bunga sebagai tanda permintaan maafnya kepada ibunya.

--

Setelah mereka meninggalkan ladang bunga Matahari tersebut, mereka kembali ke kota. Cukup lama juga, bahkan sampai sore. Mereka pun tiba di rumah sakit umum Tokyo.

“Menurut mu apa yang akan ibu katakan saat aku memberikan bunga ini?”

“Entahlah nanodayo. Itu tergantung dari bagaimana cara mu memberikannya..”

Langkah mereka berhenti ketika melihat kamar ibu Takao di penuhi banyak orang. Nenek Takao terlihat muram dengan berdiri di depan pintu sendirian.

“Ada apa ini?!” kata Takao terkejut melihat ini. “Nenek ada apa?”

Nenek Takao dengan perlahan menoleh. Tatapannya semakin dalam ketika ia melihat Takao. “Kazunari ... Ibu mu...”

“Ada apa dengan ibu?!”

“Ibu mu...”

Entah apa yang dikatakan nenek Takao. Namun itu membuat Takao dan Midorima terkejut. Bahkan Takao sampai menjatuhkan bunga Mataharinya ke lantai.

--bersambung—


Prolog:

Sebuah sentuhan angin yang lembut membuat ku sedikit kedinginan. Di bawah pohon besar ini aku merasa sedikit hangat. Pohon besar rindang di tengah padang rumput seluas ini. Namun, saat aku hendak membaringkan tubuh ku di bawahnya, tiba-tiba salah satu daun gugur ke atas wajah ku dengan lembut. Sepertinya memang benar, musim dingin sebentar lagi.

-eps5- Minggu yang kelam-

“Tunggu, kenapa? Kenapa seperti itu?! kau hebat dalam bermain basket, dan ibu mu. Bukan kah ibu mu selalu berharab jika kemampuan basket mu bisa melebihi ayah mu?” sifat Midorima berubah setelah mendengar kalimat dari Takao barusan.

“Dia bilang ia takut jika hal yang sama menimpa ku... ”

“Kau menjawab apa?”

“Aku belum memberikan jawaban, tapi aku akan memberikannya besok.. aku masih bingung ingin menjawab apa. Jika aku berhenti, aku tidak akan pernah menghabiskan waktu bersama teman-teman ku lagi. Tidak akan ada pertandingan yang membuat ku selalu bersemangat. Dan mungkin,.. hidup ku tidak akan berwarna lagi..”

Midorima terdiam melihat ekspresi Takao yang menunjukan wajah kesal tidak terimanya itu. Matanya yang berkaca-kaca juga menandakan bahwa ia memang benar-benar kesal, apalagi ibunya sendiri yang menyuruhnya berhenti. Mungkin Midorima tidak begitu tau bagaimana keluarga Takao, tapi ia tau jika Takao memang tidak terima dengan ini semua.

“Jika kau memang tidak tau apa yang harus kau katakan kepada ibu mu, kenapa kau tidak bilang yang sebenarnya saja.”

“Aku.. aku tidak bisa, jika aku katakan yang sebenarnya, ia akan tetap menyuruhku untuk keluar dari basket...”

“Tidak ada orang tua yang seperti itu di dunia ini..” kata-kata Midorima membuat Takao mengangkat kepalanya dan melihat langsung kewajah Midorima. “Aku yakin ibu mu pasti akan mengerti”

Takao terdiam sambil mengusap pipinya yang basah karena air matanya yang menetes tadi. Ia perlahan memunculkan senyumannya.

“Kau benar Shin-chan, aku yakin ibu pasti akan mengerti jika aku lebih terbuka dengannya..” kata Takao tersenyum bahagia “Terimakasih..”

Midorima membenarkan kacamatanya. “Jangan salah sangka, aku melakukannya hanya karena kau masih di butuh kan dalam tim nanodayo..” kemudian Midorima langsung berbaring dan menarik selimutnya.

“Benarkah?..  tapi sepertinya bukan begitu..” kata Takao yang megerti betul sifat Midorima yang pemalu.

--

Sinar matahari pagi memancar dari balik tirai di jendela kamar Takao. Tidak di sangka jika Midorima benar-benar tidur nyenyak di kamar Takao. Ia pun melepas topi tidurnya dan memakai kacamatanya. Ia baru tersadar jika Takao sudah tidak ada di atas futon yang ada di atas lantai.

“Takao?..” Midorima pun berdiri dari kasur yang ia tiduri sepanjang malam ini. Sesekali ia meregangkan tubuhnya.

Ia menuruni tangga menuju lantai satu. Di saat ia menuju lantai satu, ada bau enak tercium dari dapur. Rupanya itu Takao yang sedang memasak sarapan. Midorima pun menghampiri Takao yang sedang memasak.

Perlahan dan berusaha tidak mengeluarkan suara, Midorima melangkah.

“Kau sudah bangun Shin-chan?”

“Bagaimana kau tau ini aku nanodayo?”

“Haha, itu pertanyaan bodoh, dirumah ini hanya ada kau dan aku... dan mana mungkin aku lupa jika kau menginap di sini”

“Hh.. ” Midorima melihat dan baru tersadar bahwa makanan yang di masak Takao sangatlah banyak. Mulai dari Sushi, Katsu, Ebi Katsu, hingga Okonomiyaki. Tidak pernah sebelumnya ia melihat makanan sebanyak ini dalam satu ruangan kecuali saat di restaurant. “Makanan sebanyak itu untuk apa?”

“Ini? Yang bagian ini untuk sarapan dan yang bagian ini untuk menjenguk ibu ku”

“Kau akan menjenguk ibu mu?”

“Iya, dan aku juga ingin kau mengantar kan ku kesana,”

“Kenapa harus aku nanodayo?”

“Karena jika tidak ada yang mengantarkan rasanya akan sangat sepi sekali. Dan juga, kau sudah menginap dirumah ini kan?” kata Takao sambil mengeluarkan senyuman aneh pada Midorima. Membuat Midorima juga merasakan hal yang aneh.

“Baiklah kalau kau memaksa ku nanodayo..”

“Aku kan tidak memaksa... aku hanya mengajak mu haha, itu berarti kau memang mau kan hahaha!” kata Takao sambil memegangi perutnya yang sakit karena tertawa.

“Berisik nanodayo.. sudahlah aku mau mencuci muka ku dulu!” kemudian Midorima berlalu dari dapur.

“Tunggu Shin-chan! Kamar mandinya bukan di sebelah kana....”

Gubrak!!

Suara benda jatuh membuat Takao terkejut dan menghentikan masaknya. Ia bergegas keluar dapur dan melihat Midorima. Ia melihat Midorima yang sudah terkubur perabotan rumah tangga dari kayu dan juga besi. Rupanya yang Midorima buka adalah lemari. Sedangkan kamar mandinya ada di depan lemari.

“PfftBWAHAHAHA!!! AKU SUDAH BILANG PADAMU!!HAHA!!”

“Jangan tertawa nanodayo!!”

--

Hari ini, adalah hari Minggu. Di kota banyak pejalan kaki. Mereka hendak pergi untuk berjalan-jalan sejenak, atau berbelanja.

Midorima dan Takao terlihat menunggu bus di halte pinggir jalan. Takao membawa tasnya yang berisi banyak sekali makanan. Sedangkan Midorima membawa Tas dan juga lucky item hari ini berupa boneka beruang tedy memakai topi.

“Aku tidak percaya kau membawa semua lucky item mu di tas” kata Takao dengan heran.

“Sudah kau diam saja nanodayo. Aku harus bersiap-siap untuk membawa lucky item apa hari ini.. aku tidak mau mendapat kesialan nanodayo..” kata Midorima sambil membenarkan kacamatanya.

“Kesialan ya?...” kemudian Takao melihat dua orang yang berada sekitar beberapa meter dari mereka memasuki rumah makan. Seseorang yang nampaknya ia kenal jelas. “Bukannya itu Kagami dan.. Momoi..”

Kemudian Midorima menoleh. Itu memang mereka. “Itu mereka nanodayo” kata Midorima dengan kesal mengingat kejadian yang selalu ia lalui ketika ada Kagami.

“Haha.. aku baru sadar kalau mereka akhirnya pacaran juga, terakhir aku dengar, Momoi memanggilnya Taiga-chan ya? Hahaha! O .. iya ayo kita dekati mereka.”

“Lebih baik jangan nanodayo..” cegah Midorima.

“Hah?”

“Aku tidak ingin berurusan dengan mereka, lagi pula, busnya datang”

Kemudian bus itu benar-benar datang.

“Kau benar, ayo..”

Kemudian Midorima dan Takao memasuki bus itu dan segera menduduki kursi yang masih kosong. Kebetulan, bus kota sedang sepi-sepinya. Ya, karena ini masih pagi dan belum banyak orang yang menggunakan angkutan umum. Dengan begitu mereka bisa lebih leluasa lagi memilih kursi.

Takao duduk di sebelah jendela. Sedangkan Midorima memilih untuk duduk di bangku luar. Takao terlihat menikmati pemandangan yang dilihatnya di dekat jendela. Meskipun hanya toko, warung makan, dan berbagai gedung saja yang ia lihat. Tapi, ia terlihat menikmatinya seperti anak kecil.

“Oiy!” Midorima memanggil Takao karena merasa sedikit terganggu dengan tingkah kekanak-kanakan Takao.

“Ada apa Shin-chan?”

“Tingkah mu itu kekanak-kanakan sekali nanodayo, kalau boleh jujur, itu sedikit mengganggu ku”

“Hah? Kau merasa terganggu? Berlebihan sekali..” ejek Takao dengan senyumannya.

“Terserah apa katamu nanodayo..”

“Aku hanya mengingat saat aku berada di bus ini pada saat aku masih kecil, bersama ayah dan ibu ku. Aku tidak bisa melupakan hal itu, menyenangkan...” kata Takao kemudian terdiam da melihat kembali keluar jendela.

Kali ini Midorima memilih untuk membiarkan Takao seperti itu. Mengingat bahwa ia sendiri tidak pernah mengalami hal menyenangkan pada saat masa kecilnya. Pernah sekali ia merasa bahagia karena bermain dengan salah satu teman masa kecilnya. Namun...

“Oiy Shin-chan, kita sudah sampai.” Lagi-lagi, panggilan tiba-tiba dari Takao membuat Midorima tersadar dari lamunannya.

“O.. iya,” kemudian Midorima bergegas berdiri dari bangkunya. Diikuti dengan Takao.

--

Mereka berdua pun memasuki rumah sakit. Tidak begitu banyak orang yang terlihat, tidak seperti biasanya. Mungkin hanya beberapa orang saja yang melintas. Ada seorang anak perempuan yang mendorongkan kursi roda ayahnya. Ada juga seorang anak yang menyuapi ibunya yang ada di atas kursi roda.

Setelah berbicara dengan seorang suster di depan meja akutansi, akhirnya mereka bisa menuju kamar dimana Ibu Takao dirawat. Suster itu mengantarkan mereka berdua.

Setelah beberapa menit berjalan mereka pun sampai. Ruangan lantai tiga nomor 180, dengan nama keluarga Takao. Berada di depan ruangan itu saja sudah membuat Takao merasa gugup. Ia sepertinya tidak siap dengan apa yang akan di lakukannya. Ia takut jika peryataan yang dilontarkannya akan membuat ibunya kecewa.

“Huff...” Takao perlahan menghembuskan nafasnya dan berusaha tenang setenang-tenangnya.

“Bagaimana? Kau siap?” kata Midorima memastikan.

Takao mengangguk pelan tanda meng iya kan. Takao pun membuka pintu kayu itu dan segera masuk kemudian menutupnya kembali. Midorima memilih untuk menunggu di kursi tepat ada di depan ruangan itu.

--

Beberapa menit berlalu. Takao masih belum selesai berbicara dengan ibunya. Midorima masih tetap menunggu di kursi depan. Ia mulai merasa bosan dengan tatapannya yang mulai sayu.

Tiba-tiba, pintu ruangan ibu Takao terbuka. Takao terlihat seperti merasa sangat kesal. Melihat temannya berekspresi seperti itu, Midorima pun berdiri dan segera bertanya.

“Takao? Ada apa?”

“Tidak...” jawab Takao dengan nada kesalnya. “AKU TIDAK MAU BERBICARA DENGAN IBU LAGI!!!” kemudian Takao berlari dengan kencangnya.

“Takao!!”

“Kazunari!! Tunggu dulu!!” teriak salah satu nenek dari dalam ruangan yang kelihatannya nenek Takao.

Midorima pun mengejar Takao yang berlari kencang tanpa menghiraukan siapapun bahkan orang yang hampir ia tabrak “TAKAO!! TUNGGU!!!”

Takao pun terus berlari tanpa menghiraukan teriakan panggilan dari Midorima. Ia terus berlari dengan air matanya yang terus menetes itu. Berlari kencang tanpa tujuan yang jelas, itulah yang mungkin akan dilakukan orang-orang yang frustasi akan suatu hal yang tidak dapat ia terima.

--

Midorima terus mengejar Takao hingga jauh bahkan sampai meninggalkan kota. Di daerah perbukitan belakang kota. Ia mulai tahu kemana tujuan Takao.

Takao berlari menuju kebelakang bukit dan masuk kedalam hutan yang jalannya menurun. Sepertinya benar dugaan Midorima. Ladang bunga matahari itu tujuan Takao.

Takao terus berlari kedalam ladang bunga Matahari itu. Terus masuk lebih dalam lagi hingga tidak terlihat.

“Takao!...” kata Midorima dengan bingung mencari Takao. “Hhh... seharusnya aku sudah tau kalau ini terjadi nanodayo..” kata Midorima dengan kesalnya. Kemudian ia mencari-cari tempat yang dipenuhi rumput ditengah-tengah ladang bunga. Ia bisa dengan mudah mencari Takao, karena jejak Takao terlihat dari beberapa bunga Matahari yang agak miring akibat senggolan seseorang.

Kemudian Midorima melihat rerumputan yang mereka singgahi kemarin. “Takao..”

Namun Takao tidak menghiraukan Midorima. Ia tetap duduk sambil menekuk lututnya dan menutup matanya dengan lengan diatas lututnya. Midorima pun memilih untuk duduk di sebelah Takao.

“Takao?..”

“Shin-chan...” Takao tetap dalam posisi yang tadi “dia.. dia tetap melarang ku untuk bermain basket... bahkan ia tidak menghiraukan saat aku mengatakan bahwa teman-teman ku semua membutuhkan ku... aku tidak mau berbicara dengannya lagi..”

Kemudian Midorima teringat kembali akan sesuatu. Sesuatu saat ia masih kecil “Takao, jika kau berkata seperti itu, kau pasti akan menyesal suatu saat..”

“...?” Takao kemudian membuka matanya dan memperlihatkan wajahnya.

“Dulu, di saat aku masih kecil. Pertama kali aku menyukai basket. aku selalu melatih lemparan dan operan basket ku. Saat itu aku tidak memiliki teman, hanya adik ku saja yang aku miliki seorang. Ia adalah adik perempuan ku yang sangat aku sayangi.

Pada suatu siang di cuaca yang panas. Aku mengajak adik ku untuk bermain basket. ia berwajah sedikit pucat. Sebenarnya aku sudah memperingatkannya, tapi ia tidak mau dengar. Ia tetap bermain bersama ku.. namun saat aku mengoper bola kepadanya... dia pingsan. Aku merasa sangat bersalah atas kejadian itu. Ayah ku hanya marah-marah kepadaku. Memukuli ku dengan kayu hingga bahkan aku tidak sanggup menangis. Sedangkan ibu ku bersikeras untuk menghalangi niat ayah ku, namun ia tidak berhasil.

Saat aku mengunjung adik ku.. betapa terkejutnya aku saat mengetahui bahwa ia.. meninggal dunia..”

“...!” ekspresi Takao berubah ketika ia pertama kali melihat Midorima mengeluarkan air matanya.

“Ayah ku terus mencaci maki ku. Memukuli ku. Tapi saat ia berusaha memukul ku.. malah ibu ku yang terkena pukulan itu. Ia langsung ambruk dan pingsan. Aku pun berkata jika aku tidak akan mau lagi berbicara dengan Ayah. Di saat itu pula mata Ayah berubah. Pandangannya seperti seluruh dunia menghitam dan perlahan menjauhinya. Ia langsung keluar dan membawa mobilnya pergi entah kemana. Tapi saat ia baru saja berangkat... sebuah truk besar menghantam mobilnya..”

“Shin-chan...” Takao dengan tiba-tiba memeluk Midorima. “Aku mohon.. jangan diteruskan...” kata Takao dengan pipinya yang mulai basah akibat ia tak kuasa menahan tangis saat mendengar cerita dari masa lalu Midorima.

“Takao...” kata Midorima sambil mengusap matanya beberapa kali dan berusaha menghilangkan air matanya. Namun sepertinya itu sia-sia saja.

Sekarang Takao sadar. Bahwa ia mengingkari janji lamanya kepada Ayahnya. Padahal ia sudah berjanji di ladang bunga Matahari ini untuk menjaga ibunya dengan baik. Namun apa yang ia lakukan saat ini adalah memarahi ibunya sendiri. Ia memetik salah satu bunga sebagai tanda permintaan maafnya kepada ibunya.

--

Setelah mereka meninggalkan ladang bunga Matahari tersebut, mereka kembali ke kota. Cukup lama juga, bahkan sampai sore. Mereka pun tiba di rumah sakit umum Tokyo.

“Menurut mu apa yang akan ibu katakan saat aku memberikan bunga ini?”

“Entahlah nanodayo. Itu tergantung dari bagaimana cara mu memberikannya..”

Langkah mereka berhenti ketika melihat kamar ibu Takao di penuhi banyak orang. Nenek Takao terlihat muram dengan berdiri di depan pintu sendirian.

“Ada apa ini?!” kata Takao terkejut melihat ini. “Nenek ada apa?”

Nenek Takao dengan perlahan menoleh. Tatapannya semakin dalam ketika ia melihat Takao. “Kazunari ... Ibu mu...”

“Ada apa dengan ibu?!”

“Ibu mu...”

Entah apa yang dikatakan nenek Takao. Namun itu membuat Takao dan Midorima terkejut. Bahkan Takao sampai menjatuhkan bunga Mataharinya ke lantai.

--bersambung—

Tidak ada komentar:

Posting Komentar